Berita Tegal
Di Semarang Ada Lawang Sewu, di Tegal Ada Lawang Satus atau Gedung Birao, Begini Sejarahnya
Di Semarang Ada Lawang Sewu, di Tegal Ada Lawang Satus atau Gedung Birao, Begini Sejarahnya
Penulis: Fajar Bahruddin Achmad | Editor: yayan isro roziki
Penulis: Fajar Bahruddin Achmad
Oleh masyarakat sekitar Gedung Birao disebut sebagai adiknya Lawang Sewu Semarang. Mereka pun meyebutnya dengan nama Lawang Satus.
TRIBUNPANTURA.COM, TEGAL - Bila di Semarang ada gedung Lawang Sewu, yang menjadi destinasi wisata, di Kota Tegal, ada pula gedung jawatan Kereta Api yang menjadi destinasi wisata pula.
Gedung Semarang Cheriboon Stroomtram Maatschappij (SCS) atau yang lebih dikenal dengan nama Gedung Birao Tegal, dalam satu tahun terakhir menjadi primadona dan distinasi baru bagi masyarakat wilayah Tegal, Slawi, dan Brebes.
Gedung peninggalan Belanda tersebut sebenarnya sudah ada sejak 1913.
Tetapi menjadi viral setelah adanya penataan di sekitar kawasan gedung tersebut oleh Pemerintah Kota Tegal.
Kawasan yang dulunya dikenal kumuh sekarang menjadi elegan dan tertata.
Bahkan oleh masyarakat sekitar Gedung Birao disebut sebagai adiknya Lawang Sewu Semarang.
Mereka pun meyebutnya dengan nama Lawang Satus.
Lokasi Gedung Birao Tegal tersebut berada di jantung kota, tepatnya di Jalan Pancasila Kota Tegal.
Namun nampaknya banyak masyarakat yang belum mengetahui sejarah dari Gedung Birao Tegal.
Sejarawan Pantura, Wijanarto mengatakan, bangunan bersejarah yang dikenal dengan nama Gedung Birao tersebut merupakan kantor perusahaan kereta api yang bernama Semarang Cheriboon Stroomtram Maatschappij (SCS).
Izin trayeknya melayani jalur dari Semarang menuju Cirebon, melawati Pekalongan dan Tegal.
SCS pun pada zamannya sejajar dengan perusahaan-perusahaan kereta api lainnya, seperti Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan Staatssporwegen (SS).
“Nah kantornya kemudian didirikan di Tegal, diresmikan pada 1913."
"Yang menarik, lanskap bangunannya itu merupakan pengaruh kawin mawin antara bangunan Eropa dan bangunan tropis di wilayah Nusantara,” kata Wijanarto kepada tribunjateng.com, Senin (28/6/2021).
Wijanarto menjelaskan, Gedung Birao Tegal merupakan hasil karya arsitektur indis bernama Henri MacLaine Pont.
Dia memadukan gaya arsitektur Eropa dan arsitektur Nusantara yang kini dikenal dengan nama arsitektur indis.
Karya-karya dari Henri MacLaine Pont di antaranya Gedung Birao, Stasiun Tegal, Kampus ITB Ganesha, Stasiun Poncol Semarang, dan Gereja Puhsarang di Kabupaten Kediri.
Wijanarto mengatakan, bangunan berciri lingkungan tropis tersebut memiliki beberapa keunikan.
Seperti di bagian bawah kantor yang memiliki rongga-rongga udara, bagian atasnya tinggi, serta mempunyai ventilasi dan jenda yang mengatur sirkulasi udara.
“Jadi Henri MacLaine Pont ini salah satu tokoh arsitektur yang sejajar dengan Thomas Karsten. Mereka memiliki keahlian mengadopsi ciri nusantara dengan ciri Eropa. Lahirlah apa yang disebut arsitektur indis,” jelasnya.
Gedung Birao dari Masa ke Masa

Gedung Birao yang kini sering dijadikan background foto oleh masyarakat, rupanya pernah difungsikan untuk berbagai kepentingan. Bahkan pernah menjadi perkantoran dan digunakan sebagai kampus universitas di Kota Tegal.
Wijanarto mengatakan, pada masa penjajahan Jepang, SCS digunakan untuk kantor pemerintahan militer.
Karena lokasinya dekat dengan stasiun kereta api yang dulu sangat diperhitungkan sebagai moda transportasi.
Pada masa revolusi kemerdekaan 1945, Kantor Birao menjadi tempat favorit untuk pengibaran bendera merah putih.
Lalu, menurut Wijanarto, pernah juga menjadi kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), kantor dinas pekerjaan umum (PU), dan kantor keuangan.
Kemudian sebelum dikosongkan seperti saat ini, Gedung Birao difungsikan sebagai kampus Universitas Pancasakti (UPS) Kota Tegal.
“Yang menarik bahwa Kantor Birao itu pernah menjadi saksi perubahan dinamika politik di Kota Tegal."
"Pada pemerintahan Zakir, pernah terjadi aksi reformasi di sekitar Kantor Birao. Yang notabenenya banyak mahasiswa UPS menjadi reformis,” ujarnya.
Sebagai sejarawan di Pantura Barat Jawa Tengah, Wijanarto mendukung, PT KAI untuk memanfaatkan Gedung Birao menjadi museum sejarah.
Ia menilai perlu ada museum sejarah yang hidup.
Artinya tidak hanya menggambarkan sejarah transportasi kereta api.
Namun juga perlu menyertakan dinamika morfologis di Kota Tegal.
“Saya berharap PT KAI yang menjadi pemangku bisa menjadikannya sama seperti Lawang Sewu."
"Menghadirkan biorama, potret-potret, dan memberikan bukti kesan kelampauan dan sejarah perkembangan kereta api di bawah perusahaan NIS."
"Nah publik tentu menunggu adanya pembangunan dan revitalisasi Kantor Birao sebagai museum sejarah kereta api, khususnya di wilayah Kota Tegal,” ungkapnya. (fba)