Berita Tegal

Ada Dua Versi Asal Usul Pertigaan Gili Tugel Tegal Bukti Perlawanan Raden Mas Panji

Nama Pertigaan Gili Tugel tentu sudah sangat familier di telinga masyarakat Kota Tegal. Pertigaan tersebut menjadi titik yang menghubungkan antara

Penulis: Fajar Bahruddin Achmad | Editor: muh radlis
TRIBUN PANTURA/FAJAR BAHRUDDIN ACHMAD
Suasana padatnya arus lalu lintas di Pertigaan Gili Tugel, Kota Tegal, Kamis (24/3/2022). Foto diambil dari Jalan Jenderal Sudirman, arah kanan adalah Jalan AR Hakim, sedangkan arah kiri adalah Jalan Pangeran Diponegoro. 

TRIBUNPANTURA.COM, TEGAL - Nama Pertigaan Gili Tugel tentu sudah sangat familier di telinga masyarakat Kota Tegal.

Pertigaan tersebut menjadi titik yang menghubungkan antara Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Pangeran Diponegoro, dan Jalan AR Hakim. 


Kata gili tugel merupakan bahasa Tegal.


Secara harafiah, gili artinya jalan dan tugel artinya terputus. 


Tetapi tidak sebatas penamaan belaka. 


Ada asal-usul dan sejarah di balik nama Pertigaan Gili Tugel. 


Sejarawan Pantura, Wijanarto mengatakan, ada dua versi yang menceritakan asal-usul penamaan Pertigaan Gili Tugel. 


Versi pertama adalah gili tugel sebagai jalan yang terputus. 


"Jadi jalan yang terputus adalah yang mengarah ke pendopo bupati (red, saat ini wali kota). 


Jalan yang terputus itu jika ke selatan ada Jalan AR Hakim, ke barat ada Jalan Jenderal Sudirman, dan ke utara ada Jalan Pangeran Diponegoro," kata Wijanarto, kepada tribunjateng.com, Kamis (24/3/2022). 


Wijanarto menjelaskan, terputusnya jalan tersebut bukan tanpa alasan. 

 

Tetapi menjadi bukti perlawanan Bupati Tegal Raden Mas Panji Cokronegoro kepada Gubernur Daendels. 


Ketika itu, Raden Mas Panji marah karena jalan pos atau De Groote Postweg yang sedang dibangun oleh Daendels mengarah ke pendopo. 


Jalan yang terputus itu secara persis mengarah ke pendopo yang saat ini menjadi rumah dinas Wali Kota Tegal. 


"Raden Mas Panji marah, karena jalan itu akan melewati pendopo dan pringgitan. 


Ini adalah wilayah-wilayah yang dianggap privasi kekuasaan elit Jawa tradisional," ungkapnya.


Menurut Wijanarto, Raden Mas Panji saat itu meminta dua persyaratan yang harus dipenuhi oleh Daendels. 


Pertama pembuatan jalan tidak boleh melewati pendopo. 


Lalu kedua, tenaga kerja yang dikerahkan harus mendapat bayaran. 


Tetapi karena terjadi tarik ulur, terjadilah perlawanan atau pertempuran. 


Ketika itu Raden Mas Panji dibantu oleh patihnya yang bernama Ki Ronggo. 


Masyarakat pun saat itu digerakkan oleh para lurah.


"Sebelum dibangun, dilakukanlah penyerangan terhadap pasukan Belanda yang sedang membuat patok jalan ke arah pringgitan. 


Kemudian Belanda kalah. Jalur itu lalu tidak mengarah ke pringgitan dan dibelokkan ke utara yang saat ini bernama Jalan Pangeran Diponegoro," jelasnya. 


Versi Kedua 


Wijanarto mengatakan, versi kedua menyebutkan bahwa daerah tersebut bernama Pertigaan Gulu Tugel.


Kata gulu tugel masih merupakan bahasa Tegal. 


Secara harfiah, gulu artinya leher dan tugel artinya terputus atau terpotong. 


"Ada yang menyebutkan juga dengan gulu tugel. Tapi di masyarakat yang lebih dikenal adalah gili tugel," katanya. 


Wijanarto menjelaskan, versi kedua ini berkaitan dengan perang sampyuh antara Adipati Tegal Martoloyo dan saudaranya Martopuro. 


Perang sampyuh itu menyebabkan keduanya mati. 


Adipati Martoloyo tertusuk keris kyai kasur milik Martopuro. 


Begitu juga sebaliknya, Martopuro tertusuk keris kyai sepuh Adipati Martoloyo. 


"Kita ketahui, bahwa Adipati Martoloyo ini membangkang kekuasan Amangkurat II yang saat itu lunak dengan VOC.


Martoloyo kita ketahui, dulu adalah Adipati Tegal yang memperluas wilayah sampai Brebes," ujarnya. 


Wijanarto mengatakan, kabar kematian itu kemudian membuat orang kepercayaan Adipati Martoloyo yang bernama Gendowor marah. 


Dalam sumber lain, dia bernama asli Ki Pranantaka. 

 

Gendowor juga menjadi orang kepercayaan untuk mengurus kuda Adipati Martoloyo.


Saking marahnya, dia kemudian menggerakan kekuatan untuk melawan VOC. 


"Setiap ada orang VOC, dia tebas. Tempat penebas itulah yang kita kenal sekarang menjadi wilayah Pertigaan Gili Tugel," jelasnya. 


Pesan Moral


Wijanarto mengatakan, kedua versi yang menjelaskan asal-usul Pertigaan Gili Tugel itu memiliki pesan moral yang sama. 


Bahwa keduanya adalah simbol perlawanan masyarakat Tegal.


Menurut Wijanarto, sifat dan karakter perlawanan itu pun menjadi ciri khas masyarakat Tegal. 


Simbolnya adalah Banteng Loreng Binoncengan. 


"Tegal itu sebetulnya kritis. Siapapun yang bertentangan dengan nilai masyarakat di Tegal, pasti akan ada perlawanan," katanya. 


Wijanarto mengatakan, sejarah masyarakat Tegal adalah sejarah perlawanan dan bisa menjungkirbalikkan proses transformasi politik. 


Seperti yang terjadi pada eranya Waki Kota Tegal M Zakir dan Siti Masitha. 


Ia menilai, semestinya para pemangku kepentingan seperti wali kota bisa belajar dari sejarah Tegal.


"Nah, siapapun yang sangat bertentangan dengan nilai kolegialitas dan komunalitas masyarakat Tegal, pasti akan mendapat perlawanan. 


Contohnya kemarin Rabu (23/3/2022), aksi para pedagang di balai kota yang akses jualannya ditutup," ungkapnya.

Sumber: Tribun Pantura
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved