Berita Tegal
Cerita Pasutri Penjual Ketoprak di Tegal Bisa Naik Haji Setelah 13 Tahun Menanti
Cerita Sugihartono (55) dan istrinya, Mulyasih (50), menabung untuk menunaikan ibadah haji dan akan berangkat ke Tanah Suci setelah 13 tahun.
Penulis: Fajar Bahruddin Achmad | Editor: m zaenal arifin
TRIBUN-PANTURA.COM, TEGAL - Di sudut Alun-alun Kota Tegal, aroma bumbu kacang dan lontong menguar dari gerobak sederhana yang tiap malam setia menanti pelanggan.
Di balik gerobak itu, pasangan Sugihartono (55) dan Mulyasih (50) mengukir kisah ketabahan yang tak banyak diketahui orang: kisah tentang cinta, doa, dan impian menuju Tanah Suci.
Sejak 1993, Sugihartono — atau yang lebih akrab disapa Pak Soleh — sudah berkeliling menjajakan ketoprak.
Selepas menikah dengan Mulyasih pada 1995, usaha itu mereka lanjutkan bersama.
Tanpa pegawai, hanya mereka berdua, menyusun hari demi hari dari subuh hingga dini hari demi mengejar satu impian: berhaji.
“Kalau ada orang berangkat haji, hati kami ikut menangis bahagia. Saya berdoa, 'Ya Allah, kapan saya dan istri bisa seperti teman-teman yang sudah berangkat ke Tanah Suci',” tutur Pak Soleh, matanya berkaca-kaca, Kamis (24/4/2025).
Cita-cita itu dimulai dengan langkah kecil: menabung dari hasil jualan ketoprak, yang dulunya dijual seharga Rp 300 di tahun 1990-an, hingga kini menjadi Rp 13 ribu.
Dari receh yang terkumpul sehari Rp 10 ribu hingga kadang Rp 100 ribu, Mulyasih menyisihkannya ke tiga pos: kebutuhan harian, masa depan anak, dan tabungan akhirat, untuk haji dan sedekah.
“Dagang itu kan tidak pasti, tapi ibu selalu usahakan menyisihkan, sedikit demi sedikit. Yang penting istiqomah,” katanya lembut.
Pada 2012, setelah bertahun-tahun menabung, pasangan ini akhirnya bisa mendaftar haji.
Dua kursi mereka pesan dengan total Rp 50 juta. Dan kini, 13 tahun kemudian, panggilan itu datang.
Mereka akan berangkat sebagai tamu Allah tahun ini.
Di tengah kesibukan berjualan, mereka juga berhasil menyekolahkan dua anak hingga sarjana.
Anak pertama lulus dari Fakultas Pendidikan Universitas Pancasakti (UPS) Tegal, dan yang kedua dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).
“Bukan kemewahan yang kami cari. Ibu lebih milih ketenangan. Yang penting cukup dan hati tenang,” ujar Mulyasih, senyum merekah di wajahnya.
Kisah mereka adalah pengingat bahwa kesetiaan pada niat, kerja keras tanpa henti, dan hidup sederhana bukanlah hal sia-sia.
Di atas gerobak ketoprak itulah, Sugihartono dan Mulyasih mengayuh harapan.
Kini, mereka pun bersiap menyambut panggilan mulia dari Tanah Suci — hadiah dari puluhan tahun kesabaran dan keyakinan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.