Berita Nasional

Air Mata Masrup dkk Tumpah di Arena Balap Dunia, Kisruh Lahan Sirkuit MotoGP Mandalika

Air Mata Masrup dkk Tumpah di Arena Balap Dunia, Kisruh Lahan Sirkuit MotoGP Mandalika

FITRI R via kompas.com
Sibah (65) warga yang masih bertahan menyaksikan alat berat yang mengeruk tanahnya paska land clearing dilakukan di tiga titik prioritas di areal sirkuit MotoGP Mandalika Lombok, 13/9/2020 lalu di Kawasan Ekonkmi Khusus (KEK) Mandalika. 

TRIBUNPANTURA.COM - Indonesia bakal memiliki arena balap kelas dunia: Sirkuit MotoGP Mandalika.

Namun, hal itu harus ditebus dengan derai tangis warga yang merasa tanah mereka dirampas derap pembangunan tanpa menerima pembayaran, dan Masrup satu di antara mereka.

Land clearing (pengosongan) kawasan sirkuit MotoGP tahap pertama di areal super prioritas di kawasan Mandalika, NTB, dianggap tuntas.

Satu per satu warga yang masih bertahan harus angkat kaki dari tanah yang mereka klaim milik mereka.

Soal Wacana Penundaan Pilkada Serentak 2020, Ganjar: Iya, Memang Berbahaya Banget

Fenomena Equinox, Matahari akan Berada di Atas Tegal Sabtu Mendatang, Ini Penjelasan BMKG

Menag Fachrul Razi Positif Covid-19, Ini Pesan yang Disampaikan Jubir Kemenag

Satpol PP Kota Tegal: Pelanggar Aturan Pakai Masker Didominasi Warga Luar Kota

Air mata mereka tumpah di lahan tempat para pembalap kelas dunia itu akan berlaga.

Alat berat mulai berat mengeruk tanah untuk pembangunan lintasan sirkuit.

Saat Kompas.com mendatangi lokasi tersebut, Rabu (16/9/2020), sebagian masyarakat masih kekeh menjaga tanah mereka, terutama yang mengaku memiliki surat dan dokumen resmi.

Sibah alias Inaq Siti (65), pasangan dari Masrup, menopang kening dengan kedua tangannya.

Dia masih tidak percaya tanah seluas 1,6 hektar yang digarapnya selama bertahun tahun bersama suaminya, Masrup, serta anak-anaknya, kini dipenuhi alat berat, mengeruk, dan meratakan lahannya.

"Lelah sekali saya. Sejak dulu saya pertahankan tanah saya, kini mereka ambil," kata Sibah dengan pandangan yang jauh ke lahannya yang dipenuhi truk dan alat berat.

Sibah menepuk dadanya dan mengatakan bahwa dia dan keluarganya ngotot bertahan di tanah itu karena yakin masih merupakan haknya.

Dia menyebut tidak pernah ada proses jual beli yang dilakukan pihak Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).

"Sejak dulu hanya satu yang saya mau, mereka (ITDC) bayar tanah saya. Saya tidak pandai bahasa Indonesia."

"Saat saya menuntut dan meminta mereka membayar tanah saya, mereka bilang tak ada bayar atas tanah saya karena sudah dijual, tapi saya tidak pernah menjual tanah saya," ujar Sibah.

"Rp1.000 pun saya tak pernah rasakan, itulah kenapa saya tetap bertahan meskipun harus berperang dengan para pengusur," kata Sibah dengan suara bergetar dalam bahasa Sasak.

Sibah mengatakan tidak ada penjelasan apapun yang diberikan ITDC kepadanya.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved