Berita Pekalongan
Ngopi Surup Bareng Asip Kholbihi, Bahas Modal Utama Santri Sebelum Terjun ke Politik
Bicara santri tentu banyak sekali cerita dan kisahnya. Bahkan, banyak sekali lulusan santri yang sukses menjadi TNI, Polri, pengusaha.
TRIBUN-PANTURA.COM, KAJEN - Bicara santri tentu banyak sekali cerita dan kisahnya. Bahkan, banyak sekali lulusan santri yang sukses menjadi TNI, Polri, pengusaha, bahkan banyak santri terjun di dunia politik.
Salah satunya, Asip Kholbihi seorang mantan santri sekaligus pengusaha yang terjun ke dunia politik.
Tim Tribun Jateng dari program Ngopi Surup belum lama ini mewawancarai khusus, mantan santri yang terjun ke dunia politik.
Melalui program talkshow Ngopi Surup, yang dipandu wartawan Senior Tribun Jateng, Catur Waskito Edy, mereka mengulas banyak hal akan perjalanan mantan santri yang terjun ke dunia politik.
Hasil perbincangan mereka kemudian ditranskip oleh wartawan Tribun Jateng, Indra Dwi Purnomo sebagai berikut:
Bisa diceritakan? Cerita dari santri terjun ke dunia politik
Jadi kalau dikalangan pesantren yang namanya dialektika tentang politik tentang kepemimpinan, kemudian tentang kemasyarakatan itu memang menjadi konsumsi pembahasan artinya bagaimana politik menurut kacamata agama itu dipelajari dengan baik karena politik adalah bagian dari syariah.
Berangkat dari pemahaman yang saya kira menjadi pemahaman umum, kalangan santri di Indonesia ini. Maka, banyak aktivis-aktivis pesantren yang pada kemudian hari mereka ini terjun ke dunia politik.
Ada dua peran politik besar yang dimainkan oleh komunitas pesantren, pertama adalah politik kebangsaan atau politik negara dalam hal ini adalah memberikan pandangan-pandangan yang benar tentang bagaimana cara berperilaku politik yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah syariat maupun hukum positif kita.
Kedua, kader-kader pesantren banyak pula yang bergerak di bidang politik praktis artinya bagaimana tadi gagasan besar tentang politik yang merupakan bagian dari agama itu diimplementasikan ke dalam atau direduksi di dalam kebijakan kekuasaan yang orientasinya atau dedikasinya adalah untuk maslahatul amah untuk kepentingan masyarakat banyak.
Inilah saya kira yang membedakan antara politisi yang lahir dari pesantren, kemudian politisi yang lahir dari komunitas-komunitas lain. Jadi, penekanannya adalah ketika santri atau ini berpolitik itu adalah bagian dari implementasi pengalaman beragama.
Mungkin, bisa diceritakan dulu saat santri apakah punya bayangan ingin menjadi pimpinan di Kabupaten Pekalongan?
Secara kultural kami lahir dari keluarga- keluarga pejuang, simbah saya dulu pejuang yang wafatnya ditembak oleh Belanda, lalu ayah saya juga berjuang melawan penjajah dan melawan Partai Komunis Indonesia, serta pada saat itu juga berjuang di partai politik yang merupakan representasi dari kekuatan politik kaum santri yaitu Nahdhatul ulama.
Secara kultur kami dilahirkan dari keluarga seperti itu dan kebetulan dari keluarga-keluarga kita juga dulu banyak yang menjadi aktivis, seperti kayak paman saya dulu juga wakil ketua DPRD, lalu ketua partai. Sehingga, ini secara pribadi memberikan inspiring kepada saya agar ada generasi yang meneruskan untuk bisa berkiprah di politik.
Kemudian di pesantren juga kajian-kajian tentang kajian tentang politik itu, kita perdalam untuk memperkaya. Sekaligus juga, saya kebetulan jadi lurah pondok ya sudah menjadi pemimpin di pesantren dan menjadi ketua asosiasi pondok pesantren di Kabupaten Pekalongan. Jadi, ini memberi ruang kepada kita untuk bagaimana tadi mengasah tentang dialektika perpolitikan tapi versi pesantren.