Ngopi Surup

Kisah Inspiratif Bupati Tegal, Dulu Pernah Jualan Manisan saat Kuliah di Undip untuk Bantu Orangtua

Setiap orang memiliki cerita dan kisahnya sendiri terutama saat meraih kesuksesan atau pun posisinya saat ini.

Penulis: Desta Leila Kartika | Editor: Rival Almanaf
Istimewa
Bupati Tegal Umi Azizah, bersama Pemimpin Redaksi Tribun Jateng, Erwin Ardian, saat melakukan sesi obrolan santai dalam program Ngopi surup beberapa waktu lalu, di Rumah Dinas Bupati Tegal.  

TRIBUN-PANTURA.COM, SLAWI - Setiap orang memiliki cerita dan kisahnya sendiri terutama saat meraih kesuksesan atau pun posisinya saat ini.

Salah satu yang memiliki cerita menarik dan inspiratif yaitu Umi Azizah, seorang mantan santri yang juga anak dari pengasuh pondok pesantren di Kabupaten Tegal. 

Siapa sangka? Ibu dari enam anak yang dikenal dengan lemah lembut dan sikap santunnya ini terjun ke dunia politik dan menjadi Bupati Tegal? 

Tim Tribun Jateng dari program Ngopi Surup belum lama ini mewawancarai khusus mantan santri yang saat ini menjadi orang nomor satu di Kabupaten Tegal.

Baca juga: Progres Revitalisasi Alun-alun Kota Tegal Capai 62 Persen 

Baca juga: Berawan Sepanjang Hari, Berikut Prakiraan Cuaca BMKG di Pekalongan Raya, Selasa 24 November 2020

Baca juga: DPRD Setujui 16 Propemperda Kota Tegal 2021

Baca juga: Jadwal Samsat Keliling Kota Tegal Selasa 24 November, Buka di Tegal Timur dan 7 Tempat Lainnya

Melalui program talkshow Ngopi Surup, yang dipandu Pemimpin Redaksi Tribun Jateng, Erwin Ardian, mereka mengulas banyak hal mulai kisah perjuangan Bu Umi sejak kecil sampai prestasi yang diraih selama menjabat sebagai Bupati Tegal. 

Hasil perbincangan mereka kemudian ditranskip oleh wartawan Tribun Jateng, Desta Leila Kartika, sebagai berikut:

Kalau saya berbicara mengenai Bu Umi banyak hal yang menarik, di antaranya sewaktu kecil pernah berjualan manisan dan mungkin tidak menyangka suatu saat akan jadi Bupati Tegal, bagaimana ceritanya? 

Saya dibesarkan di lingkungan keluarga petani dan bapak saya pengasuh pondok pesantren.

Saya tujuh bersaudara dan merupakan anak nomor dua.

Namanya keluarga besar kebutuhannya juga sama besarnya.

Di sisi lain sebagai petani kondisinya juga kembang kempis karena sangat bergantung kepada kondisi cuaca dan harga hasil pertanian. 

Sementara itu kakak dan adik saya hampir semuanya memiliki keinginan yang keras untuk menimba ilmu pengetahuan agama maupun umum di jenjang yang tinggi.

Di mana pada saat itu di Desa tidak ada pendidikam setara SMA, Madrasah Aliyah, apalagi perguruan tinggi. Saat itu paling tinggi tingkat pendidikan SMP. 

Bapak Ibu saya itu merupakan pekerja keras, gigih, ulet, dan bagi saya bapak dam ibu merupakan guru saya. Selain itu bapak, ibu, dan keluarga saya memiliki semangat kepedulian yang tinggi terhadap problematika di masyarakat, artinya hampir semua aktif di masyarakat. 

Di tengah perjalanan saya bersekolah, yang bisa melanjutkan sekolah hanya 5 anak dari 7 anak. Hal ini karena keadaan ekonomi keluarga sebagai petani yang tidak tentu. 

Sumber: Tribun Pantura
Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved