Berita Pendidikan
Kisah Supardi Bangun Sekolah di Pedalaman Pulau Jawa, Iuran Seikhlasnya dan Terima Hasil Bumi
Kisah Supardi Bangun Sekolah di Pedalaman Pulau Jawa, Iuran Seikhlasnya dan Terima Hasil Bumi
Sulitnya akses pendidikan di Pulau Jawa, bukan mitos. Realitas itu terjadi, misalnya, di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Warga membangun secara swadaya sekolah di daerah terpencil, pedalaman Pulau Jawa, dengan iuran seikhlasnya dan juga menerima hasil bumi.
TRIBUNPANTURA.COM, BANDUNG – Sulit mengakses pendidikan menjadi hal biasa bagi warga Kampung Nangela, Ciapus, dan Pasir Erih, Desa Nanggala, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Dari kampungnya, untuk menuju SD negeri terdekat warga harus menempuh perjalanan tiga kilometer.
Jalanan berbatu dan tanah itu hanya bisa dilalui kendaraan roda empat pada musim kemarau.
Baca juga: Warga Perbatasan RI-Malaysia Kesulitan Dapat BBM, Harga Bensin Eceran Rp35.000 Per Liter
Baca juga: 3 Orang Tewas Satu di Antaranya Balita, Kecelakaan Odong-odong Rombongan Pengantin di Batang
Baca juga: Mengejutkan, Polisi Mendapati Hal Ini saat Grebek Mobil Goyang di Parkiran
Baca juga: Union Berlin vs Dortmund: Moukoko Pencetak Gol Termuda Bundesliga, Die Borussen Malah Keok
Saat hujan seperti sekarang, jalan hanya bisa dilalui roda dua. Itu pun dengan susah payah.
Tak heran jika warga yang bersekolah di kampung tersebut tidak banyak.
Hal itulah yang membuat Supardi (40) dan adiknya mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Athfal.
“Saya dari luar kampung, pindah ke Nangela. Saya melihat potensi di sana banyak tapi sangat sulit ke sekolah,” ujar Supardi (40) mengawali perbincangannya dengan Kompas.com, Jumat (18/12/2020).
Ia kemudian bermusyawarah dengan warga setempat hingga terbentuklah madrasah diniyah non formal tahun 2006.
Dua tahun berlalu, lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pasundan (Unpas) Bandung ini pun mendaftarkan madrasah sebagai pendidikan formal.
Setelah menjadi MI tahun 2008, warga membangun kelas alakadarnya dari bambu.
Baru satu tahun kemudian mereka mengajukan bantuan ke Kementerian Agama untuk sarana kelas.
“Tahun 2011 dapat 2 bangunan lokal (kelas) dari Kemenag, bangunan semi permanen,” tutur dia.
Lama kelamaan, bangunan mulai lapuk dan hampir ambruk. Jumlah siswa yang terus bertambah pun sulit ditampung.
“Kami punya 84 siswa. Ada yang belajar di emper-emper sekolah karena kelas nggak cukup,” tutur dia.