Berita Jateng

Peran Kelompok Perlindungan Anak di Desa atau Kelurahan Dibutuhkan di Jateng untuk Cegah Kekerasan

Kekerasan pada anak masih menjadi momok menakutkan. Meskipun di tengah pandemi Covid-19, masih banyak yang menjadi korban di berbagai desa yang ada di

Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: muh radlis
TRIBUN JATENG/MAMDUKH ADI PRIYANTO
Tangkapan layar lokakarya yang diadakan secara virtual terkait perlindungan anak di desa. 

TRIBUNPANTURA.COM, SEMARANG - Kekerasan pada anak masih menjadi momok menakutkan. Meskipun di tengah pandemi Covid-19, masih banyak yang menjadi korban di berbagai desa yang ada di Jawa Tengah.

Hasil sensus penduduk 2020 di Jateng hingga September ada 36,2 juta jiwa. Persentase penduduk yang produktif mencapai 76 persen.

Komposisi anak-anak di Jateng terdiri dari Kelompok milenial (lahir 1990-2000) sebanyak 24,3 persen. Ada juga Generasi Z (lahir 2000-2010) sebanyak 25,31 persen.

Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jateng mencatat banyaknya anak-anak di Generasi Milenial dan Generasi Z juga berbanding lurus dengan angka kekerasan di Jateng.

"Tercatat sepanjang 2018 kekerasan anak mencapai 452, pada 2019 kekerasan anak mencapai 503 dan pada 2020 ada 516 kasus," kata Kepala DP3AP2KB Jateng, Retno Sudewi saat Lokakarya Pengembangan Pedoman dan Mekanisme Rujukan Masyarakat yang diadakan secara virtual Rabu (14/4/2021).

Dari data itu, katanya, jumlah yang terbesar merupakan kekerasan seksual.

Di media sosial, melalui komentar banyak sekali kejadian yang terjadi, terutama selama masa pandemi ini.

Selain itu, ada juga banyak ajakan perkawinan anak. Data perkawinan anak pada 2019 sebanyak 672 untuk yang laki-laki, sementara perempuannya mencapai 1.027.

"Pada masa pandemi, angka itu juga naik. Tercatat pada 2020 ada perkawinan anak 1.671 untuk laki-laki. Sementara perempuannya mencapai 11.301," jelasnya.

Retno menuturkan di Jateng ada program Jo Kawin Bocah juga menjadi harapan menekan angka perkawinan anak. Termasuk juga melatih anak-anak untuk menjadi agen bagi teman sebayanya. Lalu melatih mereka untuk lebih waspada dan mengetahui pentingnya hak anak.

Kekerasan dan perkawinan anak, kata dia, bisa dicegah dengan melibatkan tokoh masyarakat. Termasuk nantinya ada kontribusi para ibu di desa.

Termasuk adanya komunitas, akademisi, dunia usaha, bahkan media. Sinergi di desa membentuk mereka lebih kuat, serta peran komunitas atau lembaga yang dilakukan secara terpadu.

"Kolaborasi ini bisa kita lakukan, ketika terintegrasi dengan anak dalam masyarakat. Kita nanti bisa memberikan gambaran sistem di masyarakat untuk bisa memenuhi hak anak," ungkapnya.

Oleh karena itu, dibutuhkan strategi perlindungan terpadu di desa atau kelurahan yang bisa mencegah kekerasan pada anak. Di antaranya melalui program Safe4C (Safe and Friendly Environment for Children) yang merupakan kerjasama DP3AP2KB Jateng, Yayasan Setara, dan UNICEF.

Program ini bertujuan untuk Mendukung terciptanya penguatan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak di 10 kabupaten/kota di Jateng. Salah satu yang akan dibangun adalah pengembangan mekanisme pelayanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak berbasis masyarakat.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Nahar menuturkan, strategi perlindungan anak tidak bisa diselesaikan satu sektor. Butuh keterlibatan berbagai pihak, kelompok, serta komunitas di desa atau kelurahan yang bergerak bersama.

"Jadi terbangun sistem pelaporan yang terintegrasi sampai tingkat nasional," kata Nahar.

Reformasi manajemen kasus yang melibatkan anak harus dilakukan secara besar-besaran. Pengembangannya kini diarahkan ke tingkat desa/kelurahan. Sebab, tingkatan tersebut merupakan wilayah yang menjadi komunitas terdekat dengan masalah dan berbagai kejadian serta garda terdepan.

Makanya, konsep Desa Ramah Perempuan dan Anak harus bisa dilakukan sinergi antar-kementerian.

"Desa ramah perempuan dan perlindungan anak bisa disupport untuk membuat kebijakan di tingkat nasional," tuturnya.

Strategi perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat harus bisa mencakup pencegahan terhadap kekerasan, mengatasi persoalan. Serta masyarakat juga tidak gagap ketika merespon kasus. Di tingkat desa sistem ini bisa melibatkan tokoh agama, tokoh adat serta tokoh masyarakat.

Sementara, Koordinator Desa Inklusif dan Desa Adat Direktorat Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa, Sri Wahyuni mengatakan, desa ramah lingkungan dan peduli anak bisa dibentuk di berbagai daerah. Makanya pendataan desa mencakup layanan perlindungan perempuan dan anak yang bisa dimaksimalkan.

"Strateginya bisa memaksimalkan pendamping percontohan. Mereka menyusun panduan desa atau sekolah lapangan. Desa memiliki data gender dan data anak, melaksanakan anggaran responsif gender dan peduli anak," katanya.

Selain itu, kata dia, desa juga memiliki organisasi perempuan dan anak. Sehingga tiap desa bisa memiliki layanan hukum bagi perempuan dan anak.

"Lembaga yang sudah ada saat ini bisa dimaksimalkan di desa. Baik lembaga di tingkat perempuan maupun anak di desa,  lembaga yang ada itu bisa dioptimalkan," imbuhnya.(mam)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved