Kriminal dan Hukum
Cerita Perempuan Korban Kekeresan Seksual saat Pandemi, Rintangan untuk Dapat Keadilan Bertambah
Cerita Perempuan Korban Kekeresan Seksual saat Pandemi, Rintangan untuk Dapat Keadilan Bertambah
Penulis: iwan Arifianto | Editor: yayan isro roziki
TRIBUNPANTURA.COM, SEMARANG - Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) menyebut banyak rintangan yang dihadapi korban kekerasan seksual dan pendampingnya selama pandemi Covid-19.
Proses visum terhadap korban juga sedikit terhambat saat pandemi seperti ini.
Di samping itu, dalam proses memperoleh dan memperjuangan keadilan, mereka rentan terpapar Covid-19.
"Di situasi pandemic Covid-19 harus dipastikan bahwa setiap warga negara tidak mengalami diskriminasi termasuk perempuan."
"Tetapi diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi," terang Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi KJHAM, Citra Ayu melalui Live media sosial Facebook dan Instagram bertajuk peringatan Harlah LRC-KJHAM ke 22 tahun, Sabtu (24/7/2021).
Dia menyebut, selama pandemi korban mengalami hambatan dalam mengakses layanan dengan aman dan nyaman.
Seperti akses layanan visum yang sudah dijadwalkan dengan RS harus dirujuk ke RS lain karena RS penuh dengan pasien Covid.
Tidak adanya ruangan khusus untuk layanan visum, melainkan di ruangan yang sama yaitu IGD yang bercampur dengan pasien Covid-19.
Salah satu syarat untuk mengakses layanan shelter adalah korban harus memiliki surat keterangan negative Covid-19.
Akan tetapi tidak ada tempat khusus untuk korban menunggu hasil, sehingga harus dibantu oleh pendamping untuk mendapatkan tempat tinggal sementara.
"Selain itu, stigma dari aparat juga masih diterima oleh korban, seperti disudutkan dan disalahkan," ujarnya.
Dia melanjutkan, dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi yang dilakukan secara tatap muka, juga menimbulkan kerentanan pendamping dan korban terpapar Covid-19.
Seperti pada saat pemeriksaan medis atau layanan visum di Rumah sakit yang penuh dengan pasien Covid, pendampingan di kepolisian di mana ruangan yang sempit dengan banyak pengunjung yang sulit menaati protokol kesehatan.
Situasi tersebut membuat pendamping rentan terpapar Covid-19.
"Bahkan hingga saat ini, sebanyak 3 pendamping korban dari LRCKJHAM dan Paralegal terkonfirmasi positif Covid-19 dan lebih dari 6 pendamping mengalami gejala yang mengarah pada Covid-19," bebernya.
Di tengah kondisi tersebut, tegas Citra, anggaran untuk perlindungan perempuan termasuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan semakin menurun.
Dari hasil monitoring anggaran LRC-KJHAM terhadap APBD Provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa anggaran Dinas Perempuan Anak Provinsi Jawa Tengah tahun 2020 adalah Rp33.431.326.000 atau Rp33 miliar.
Kemudian di tahun 2021 turun sekira Rp6 miliar atau menjadi Rp27.932.278.000.
Situasi ini ditambah dengan melemahnya partisipasi perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
Kebijakan pembatasan yang menuntut dialihkannya forum-forum perencanaan pembangunan menjadi online atau daring, membuat keterlibatan perempuan menjadi terbatas.
"Diantaranya karena keterbatasan akses perempuan terhadap teknologi dan hambatan jaringan
internet yang menjangkau hingga pedesaan," terangnya.
Padahal,imbuh Citra, kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat tiap tahunnya.
Berdasarkan data monitoring LRC-KJHAM sejak tahun 2018 hingga Juni 2021, tercatat 503 kasus, dengan jumlah korban sebanyak 680 perempuan.
Dari data penanganan kasus LRC-KJHAM tercatat, di tahun 2018 terdapat 74 kasus kekerasan terhadap
perempuan, tahun 2019 meningkat menjadi 84 kasus, dan di tahun 2020 meningkat lagi menjadi 96 kasus.
"Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus kekerasan seksual termasuk kekerasan seksual berbasis online adalah kasus yang cenderung tinggi di masa pandemi ini," ungkapnya.
Meskipun demikian, menurut Citra, kerja-kerja penghapusan diskriminasi terhadap perempuan,sebagaimana mandat CEDAW yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 tahun 1984 tetap harus dijalankan.
Sebagai informasi, CEDAW atau ICEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) adalah sebuah Kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan.
Untuk itu dibutuhkan strategi-strategi baru kerjakerja pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan,pendidikan kritis dan penguatan partisipasi perempuan.
Dalam refleksi 37 tahun konvensi CEDAW dan 22 Tahun LRC-KJHAM akan dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan meliputi Peringatan Harlah LRC-KJHAM ke 22 Tahun disiarkan secara Live di Facebook dan Instagram.
Disusul launching Konsultasi Hukum Online, Donasi Keadilan, Lomba Perempuan Menulis, Tiktok Competition, Siaran Langsung Instagram NGEMPER (Ngobrol Bareng Perempuan),Siaran Langsung Facebook BAPER (Bincang Asik Perempuan), dan lainnya.
Program-program inovasi tersebut diharapkan mampu menjadi strategi baru bagi perempuan korban kekerasan dalam mengakses keadilan.
Masyarakat juga bisa berpartisipasi mendukung upaya untuk mewujudkan akses keadilan bagi
perempuan.
"Pemerintah juga harus menciptakan inovasi-inovasi di dalam percepatan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19 ini," tandas Citra. (Iwn)