Berita Jateng

Kasus Kekerasan Seksual di Jateng Masih Tinggi

Komnas Perempuan mencatat 45 ribu lebih kasus kekerasan seksual di Indonesia periode 2012 hingga 2020.

Penulis: budi susanto | Editor: muh radlis
Tribunnews.com
Ilustrasi Kekerasan terhadap perempuan. 

TRIBUNPANTURA.COM, SEMARANG - Komnas Perempuan mencatat 45 ribu lebih kasus kekerasan seksual di Indonesia periode 2012 hingga 2020.


Dari puluhan ribu kasus kekerasan seksual tersebut, semua korban merupakan perempuan.


Jika dihitung dalam periode 8 tahun, setidaknya terdapat 3 sampai 4 perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan seskual.


Tak hanya skala nasional, di Jateng Kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan juga masih cukup tinggi.


Data dari Legal Resources Center, untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), di Jateng pada 2019 hingga 2021 terjadi 305 kasus kekerasan seksual.


Selain tingginya kasus kekerasan seksual di Jateng, LRC-KJHAM juga mengemukakan masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak melaporkan kasusnya.


Diterangkan Lenny Ristiyani, Staff Muda LRC-KJHAM, kondisi tersebut merupakan bentuk dari sikap, yang akhirnya menjadi wajar di masyarakat, karena pesimis terhadap berbagai sistem yang ada.


"Mulai dari sistem sosial, budaya, adat, hingga hukum.

Ada pula temuan dari Fatayat NU Jateng, di mana korban dan keluarga korban mengalami kesulitan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren," katanya, Rabu (16/2/2022).


Dilanjutkannya, temuan dari Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Kabupaten Kendal beberapa waktu lalu, dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak di TPQ, keluarga korban memilih untuk diam.


"Dari beberapa temuan tersebut perempuan korban kekerasan seksual masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan, dan beberapa tidak mendapatkan dukungan dari keluarga, hingga disalahkan oleh masyarakat," jelasnya.


Selain sejumlah hal mengenai hambatan, ia menerangkan korban kekerasan seksual acapkali mendapatkan perlakuan represif dari pelaku maupun lingkungan pelaku, stigma oleh petugas pemberi layanan, kasus yang mandek di Kepolisian, hingga putusan sidang yang rendah bagi pelaku.


"Sampai saat ini pun belum ada peraturan hukum secara kusus yang melindungi perempuan korban kekerasan seksual.

Meski Indonesia telah mempunyai beberapa komitmen dalam perlindungan perempuan melalui ratifikasi konvensi CEDAW yaitu konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan," paparnya.


Lenny mengatakan di awal 2022 ini RUU TPKS telah resmi disahkan pada rapat paripurna untuk menjadi RUU inisitaif DPR RI.

Presiden juga telah menyampaikan pernyataan sikapnya, bahwa RUU TPKS harus dipercepat pembahasannya dan pengesahannya, namun belum mampu melindungi keberagaman kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan.


"Berdasarkan situasi tersebut, kami ingin memberikan sejumlah rekomendasi ke negara baik legislatif, eksekutif maupun

yudikatif. Di mana pemerintah baik pusat maupun daerah turut memastikan subtansi RUU Penghapusan TPKS yang berpihak kepada korban dengan mengakomodir 6 elemen kunci," ucapnya.


Tak hanya itu, Lenny juga menegaskan, DPR RI agar bisa melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang mengakomodir kebutuhan korban dan pendamping.


"Kami juga meminta aparat penegak hukum agar melaksanakan tugas penegakan hukum

yang berdasarkan standar Hak Asasi Manusia, yang meliputi responsive gender dalam menangani korban dalam kasus-kasus kekerasan seksual.

Serta mengajak seluruh masyarakat, media, keluarga korban dan pendamping untuk terus mendesak DPR RI melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang mengakomodir kebutuhan korban dan pendamping," tambahnya.

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved