Hal tersebut, menurut salah satu Produsen tempe di Desa Debong Wetan, Dukuhturi Kabupaten Tegal, Jaitun (45), terpaksa dilakukan karena untuk menutup biaya produksi.
Pendapatan yang diperoleh dari penjualan tempe hanya bisa digunakan untuk membeli bahan baku kedelai saja.
Bahkan untuk membayar gaji karyawan pun Jaitun tidak sanggup, dan mau tidak mau menggunakan tabungan pribadi untuk membayar gaji 5 karyawan nya.
"Siasat yang saya lakukan supaya tetap bertahan ya dengan mengurangi ukuran tempe nya, dari yang tebal 8cm jadi 7cm. Karena kalau menaikkan harga pembeli juga tidak mau. Jadi ya jujur kenaikan harga kedelai ini sangat berpengaruh dengan kondisi usaha saya," ungkap Jaitun.
Baca juga: Maling Kepergok Satpam Perumahan Saat Hendak Bawa Kabur TV Curian di Beranda Bali Semarang
Baca juga: Diguyur Hujan Ringan Malam Hari, Berikut Prakiraan Cuaca BMKG Kabupaten Batang Jumat 8 Januari 2020
Baca juga: Berikut Prakiraan Cuaca BMKG di Pekalongan Raya, Jumat 8 Januari 2021
Baca juga: Ada Bendera Merah Putih Dalam Aksi Demo Pendukung Donald Trump di Capitol Hill, Milik Siapa?
Tidak hanya mengurangi ukuran tebal tempe nya, Jaitun juga mengurangi jumlah produksinya. Dari yang biasanya 2 kuintal per hari, saat ini hanya 1,5 kuintal per hari.
Saat ini Jaitun biasa mencetak (memproduksi) 50-60 tempe per hari yang satu cetaknya membutuhkan 5 kg kedelai.
Harga satu cetak tempe Rp 50 ribu yang menggunakan alas plastik, sedangkan yang alas daun Rp 40 ribu.
"Sekarang harga kedelai Rp 9 ribu per kilogram, padahal biasanya Rp 6 ribu per kilogram. Sehingga omzet pun turun, dari yang biasnya saya bisa menjual 60 cetak tempe saat ini paling 50 cetak saja, itu pun untung-untungan. Hasil penjualan yang saya dapat hari ini pun, untuk belanja kedelai besoknya kadang masih kurang, jadi banyak tomboknya dari pada untung," terangnya. (dta)