Idris menambahkan, dalam 1 hektar, porang dengan pola Sleman Boy, yakni penanaman secara modern dan akal sehat ilmu pertanian, 1 hektar bisa menghasilkan 208 ton umbi dan 3,5 ton katak.
"Bandingkan dengan sawit. Satu hektar porang dengan Sleman Boy, hasilnya lebih banyak dibanding 100 hektar sawit yang umurnya 20 tahun maksimal," katanya.
Begitu halnya, menanam porang tidak perlu ada penebangan liar karena tidak membutuhkan lahan luas seperti sawit.
"Satu keluarga dapat Rp2 miliar tak sampai dua tahun kan cukup 1 hektar."
"Bahkan, dengan lahan 400 meter persegi dengan modal Rp12 juta dalam dua tahun itu bisa menghasilkan Rp120 juta," ujar pria yang meninggalkan profesi sebagai konsultan pajak demi porang ini.
Sejumlah catatan
Namun demikian, lanjut Idris, untuk berhasil dalam menanam porang, ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan.
Pihaknya selama ini menerapkan cara modern dan akal sehat ilmu pertanian.
Oleh karena itu, mutu bibit haruslah yang baik, sehat, dan siap untuk ditanam.
"Jangan pernah beli bibit karena harganya murah. Beli bibit yang bermutu."
"Maka, dua hingga 3 tahun ke depan, saya yakin Sumut dengan memakai pola kita, akan bisa mendekati bahkan mengimbangi produksi Jawa Timur atau Jawa Tengah, karena kita punya hamparan luas," katanya.
Potensi pasar
Sementara itu, Edy Effendi, pemilik Porang Sumatera Boy mengatakan, ada 13 negara yang menunggu produksi porang.
Sumut sendiri, kata dia, saat ini ada sekitar 300 hektar lahan penanaman porang.
Edy mengaku memilih menanam porang karena tanaman ini sudah menjadi kebutuhan internasional.
Ekspor porang sudah menembus Jepang, Korea, China, bahkan mulai berkembang ke Eropa, Amerika, dan Australia.
"Bisnis porang ini agak unik. Hilir menanti, hulu tidak ada. Luar negeri sudah menunggu porang dari Indonesia, tapi produksi sangat terbatas."
"Maka sangat menarik untuk kita investasi dan ini peluang untuk meningkatkan devisa."
"Makanya, Menteri Pertanian dan Presiden mengangkat porang sebagai komoditas ekspor untuk dapatkan devisa negara," katanya.