Kearifan tersebut di antaranya hasil dari rekayasa sosial para penyebar agama masa lalu agar masyarakat tetap rukun tanpa ada yang merasa disakiti.
“Misalnya di Kudus itu tidak boleh menyembelih sapi, sebenarnya itu kan bagian dari rekayasa sosial agar umat yang menyucikan sapi tidak merasa tersinggung,” kata Syamsul.
Ajaran yang ada di tengah masyarakat berupa kearifan lokal tersebut sudah selayaknya direvitalisasi.
Jangan sampai ajaran tersebut hilang.
Dia menilai, kearifan lokal tersebut bisa menjadi tali pengikat atas ancaman segregasi sosial.