Berita Jateng
Kasus Bullying Siswa SMA di Sragen, Wakil Ketua DPRD Jateng Angkat Bicara
Kasus yang terjadi pada Kamis (3/11/2022) itu menimpa salah satu siswi kelas X SMA Negeri 1 Sumberlawang Kabupaten Sragen.
Penulis: hermawan Endra | Editor: m zaenal arifin
TRIBUNPANTURA.COM, SEMARANG - Wakil Ketua DPRD Provinsi Jateng, Heri Pudyatmoko, akhirnya angkat bicara menanggapi peristiwa perundungan atau bullying yang dilakukan oknum guru kepada seorang siswi yang tidak mengenakan kerudung.
Kasus yang terjadi pada Kamis (3/11/2022) itu menimpa salah satu siswi kelas X SMA Negeri 1 Sumberlawang Kabupaten Sragen.
Lantaran tidak memakai jilbab, guru matematiknya menegur hingga memarahi siswi tersebut saat jam pelajaran berlangsung.
Heri Pudyatmoko mengaku prihatin dan menyayangkan peristiwa yang terjadi di lembaga pendidikan itu. Ia pun meminta pihak-pihak yang terlibat di dalam kasus tersebut untuk dapat menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Menurutnya, teguran dan amukan guru kepada siswi untuk mengenakan kerudung dalam peristiwa itu merupakan bentuk pemaksaan.
Padahal di sekolah negeri tidak ada peraturan bagi siswi untuk memakai kerudung saat sekolah.
"Tidak masalah siswi itu tidak memakai kerudung. Di sekolah negeri kan tidak ada aturannya, beda halnya sekolah agama. Kalau tidak ada aturan, itu jadinya mengarah ke pemaksaan. Apalagi korban saat ini sedang depresi dan takut berangkat sekolah," katanya, dalam rilis, Sabtu (19/11/2022).
Ia melanjutkan, perundungan itu tidak seharusnya dilakukan dengan motif apapun. Setiap pihak di sekolah harus menghargai dan menghormati hak, pilihan, dan prinsip yang dimiliki masing-masing individu.
"Meskipun niat guru matematika tersebut baik dengan meminta siswinya memakai kerudung, namun bagaimana siswi itu juga punya hak yang harus dilindungi. Ia tidak bisa dipaksa untuk sama dan mengikuti kehendak guru," tegas politisi Partai Gerindra itu.
Lebih lanjut, untuk mengantisipasi agar peristiwa saemacam itu tidak terjadi lagi di lembaga pendidikan, Heri menilai bahwa pemahaman nasionalisme dan moderat sangat penting untuk ditanamkan kepada guru, siswa, dan seluruh civitas akademik.
Dengan begitu, nantinya seseorang akan semakin menyadari pentingnya persatuan dan kesatuan meskipun memiliki perbedaan. Semua saling terikat satu sama lain dalam satu rumah meskipun penghuninya multikultur.
"Pancasila harus menjadi dasar kehidupan bernegara. Sehingga tidak ada paksaan untuk menganut satu ideologi atau pemahaman tertentu saja. Biarlah semuanya tumbuh dan hidup sesuai dengan pemahaman masing-masing," kata Heri.
Di samping itu, lanjut Heri, pemahaman moderat akan membuat seseorang lebih terbuka dengan pendapat dan pilihan orang lain.
Dalam konteks serupa misalnya, guru yang moderat tidak akan memaksa peserta didiknya untuk sepaham dengan dirinya.
"Pemahaman nasionalisme dan juga pemahaman moderat menjadi dua hal penting untuk bisa ditanamkan di lingkungan pendidikan. Sehingga peristiwa perundungan terhadap siswi yang tidak memakai kerudung di sekolah tidak akan terjadi lagi jika semua pihak saling bertoleransi dan menghargai satu sama lain," pungkas Heri. (*)