Polisi Tembak Pelajar SMK di Semarang

Oknum Wartawan Semarang Cawe-cawe Kasus Pelajar Ditembak Mati Polisi, Semobil dengan Kapolrestabes

Keluarga Gamma mengungkapkan, sempat melihat sosok wartawan yang ikut cawe-cawe kasus penembakan oleh polisi, pulang satu mobil dengan Kapolrestabes.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: m zaenal arifin
Tribunpantura.com/Iwan Arifianto
Massa aksi membentangkan kertas bertuliskan Wartawan Bukan Humas Polri ketika aksi demonstrasi meminta polisi mengusut kasus kematian GRO atau Gamma yang meninggal dunia ditembak polisi, di Mapolda Jateng, Kamis (28/11/2024). 

TRIBUN-PANTURA.COM, SEMARANG - Keluarga GRO (17) atau Gamma mengungkapkan, sempat melihat sosok wartawan yang ikut cawe-cawe kasus penembakan oleh polisi, pulang satu mobil dengan Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar.

Mereka pulang satu mobil dengan tangan kosong karena misi membuat video pernyataan keluarga ternyata gagal total.

"Wartawan itu saat pulang duduknya sebelahnya Pak Kapolrestabes, mereka satu mobil," kata Paman Gamma, Agung (49) di Kota Semarang, Selasa (3/12/2024).

Keluarga korban melakukan pertemuan dengan tiga polisi dan satu wartawan tersebut di rumah nenek korban di Kembangarum, Semarang Barat, Senin (25/11/2024) malam.

Menurut Agung, dalam pertemuan itu kepolisian meminta kepada keluarga agar mengikhlaskan kejadian tersebut. 

Permintaan ini disampaikan oleh perwakilan wartawan.

Baca juga: Duka Keluarga Pelajar SMK di Semarang yang Tewas Ditembak Polisi: Sudah Meninggal Malah Difitnah

Kemudian diulangi oleh Kapolrestabes.

"Wartawan itu bilang ke keluarga biar beritanya tidak menyebar ke mana-mana sebaiknya dari keluarga korban membuat video pernyataan bahwa keluarga Gamma sudah mengikhlaskan kejadian ini."

"Kemudian tidak akan membesar-besarkan masalah ini dan untuk masalah hukum selanjutnya diserahkan ke pihak Polrestabes," kata Agung menirukan ucapan wartawan tersebut.

Agung merinci, wartawan itu belakangan diketahui berinisial D.

Ciri-cirinya ketika mendatangi keluarga antara lain berkulit putih, berbadan gemuk atau gempal, dan mengenakan kaos berwarna biru.

Pihaknya merasa kecolongan atas kehadiran wartawan tersebut.

Sosok ini juga tak dikenalkan secara langsung oleh Kapolrestabes Semarang.

Baca juga: AJI Semarang Kecam Oknum Wartawan Ikut Intervensi Kasus Polisi Tembak Mati Pelajar SMK

Keluarga mengira, wartawan ini adalah polisi.

"Kapolrestabes hanya memperkenalkan diri sendiri, Pak Kasat Reskrim (Kompol Andika Dharma Sena) , Pak Kasat narkoba  ( Kompol Hannkie Fuariputra) cuma yang satu nggak diperkenalkan (wartawan). Kami kira dia mungkin ajudannya," paparnya.

Pertemuan selama 30 menit ini dianggap keluarga sebagai pertemuan internal bukan untuk dikonsumsi publik.

Bahkan, keluarga sempat mengusir dua wartawan lainnya dari media televisi dan media online yang hendak meliput pertemuan itu.

Hal ini dibenarkan pula oleh wartawan yang diusir tersebut. 

Namun, ternyata foto pertemuan keluarga dan polisi ini malah dimuat di salah satu portal media online nasional. 

"Kami bilang ke orang Polrestabes fotonya jangan dikeluarkan (ke publik) tapi malah keluar di berita. Kami tentu tidak terima katanya hanya untuk internal saja bukan untuk diliput," ungkapnya.

Keluarga menolak mentah-mentah permintaan polisi dan wartawan untuk membuat video tersebut dengan alasan kasus yang disampaikan polisi ada yang tidak sesuai dengan fakta kejadian.

Baca juga: Keluarga Pelajar yang Ditembak Mati Polisi Melawan, Tunjukkan Video Penembakan, Pelaku Diduga Mabuk

Selain itu, keluarga juga menyayangkan sikap polisi yang memberitahukan kematian Gamma pada Minggu (24/11/2024) pukul 12.00 WIB.

Jeda waktu kejadian dengan pemberitahuan kematian Gamma hampir 12 jam.

"Alasannya tidak ada identitas dan rekam sidik jari tidak keluar. Padahal warga sekitar bilang sejak pagi rumah kami sudah dicari polisi berpakaian preman," tuturnya.

Adanya dugaan intervensi tersebut, Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar enggan menanggapinya.

"Silahkan ke Kabid Humas Polda Jateng (Kombes Artanto)," katanya.

Namun, Kombes Artanto ketika dikonfirmasi melalui sambungan telpon tak merespon, Selasa (3/12/2024) sore.

Sementara, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengecam tindakan wartawan yang ikut mengintervensi kasus GRO (17) pelajar SMK yang ditembak polisi supaya kasusnya tidak dibongkar ke publik. 

Terungkapnya keterlibatan wartawan dalam mengintervensi kasus ini bermula dari pengakuan seorang kerabat keluarga korban berinisial S.

Kerabat ini mengaku, sehari selepas terjadinya peristiwa penembakan yang menewaskan almarhum GRO, keluarga didatangi Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar bersama seorang wartawan bercirikan berbadan gempal, Senin (25/11/2024) malam.

Perwakilan keluarga ini telah ditunjukkan foto seorang wartawan yang dimaksud dan dia membenarkan.

Dalam pertemuan tersebut, keluarga GRO diminta oleh polisi dan wartawan ini untuk menandatangani surat pernyataan serta video yang intinya mereka sudah mengikhlaskan kematian almarhum.

Namun keluarga menolak mentah-mentah permintaan tersebut.

Baca juga: Fakta Baru, Keluarga Pelajar SMKN 4 Semarang yang Ditembak Mati Polisi Diintervensi Oknum

Alasan keluarga menolak karena pernyataan Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar tidak sesuai fakta sebenarnya.

Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan mengatakan, perbuatan jurnalis atau wartawan yang berusaha menutupi peristiwa kematian GRO adalah tindakan serius yang menciderai profesi jurnalis. 

Tindakan tersebut juga jauh dari semangat elemen jurnalisme yakni jurnalis harus menyampaikan kebenaran pada sebuah pemberitaan tanpa adanya kepentingan tertentu.

"Tak hanya itu, tindakan cawe-cawe jurnalis dalam kasus GRO berpotensi menyalahi UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik," kata Aris dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12/2024).

Aris merinci, dalam Pasal 4 UU Pers jelas disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia.

Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers maka pers nasional memiliki hak mencari, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.

Namun, wartawan ini dalam kasus GRO malah ada upaya menghalang-halangi sesama rekan jurnalis untuk meliput kasus tersebut.

Dalihnya, Kapolrestabes Semarang akan merilis kasus tersebut tetapi selepas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Di dalam Pasal 18 UU Pers sudah sangat jelas tertulis Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kerja pers secara melawan hukum dapat dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

"Mirisnya, potensi pelanggaran ini malah dilakukan oleh wartawan itu sendiri," ungkap Aris.

Baca juga: Polda Jateng Akui Aipda Robig Tembak Pelajar SMK di Semarang Tanpa Tembakan Peringatan

Selain itu, upaya intervensi wartawan terhadap kasus Gamma tidak sesuai dengan kode etik AJI meliputi jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Jurnalis memberikan tempat bagi pihak yang tidak memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka.

Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.

"Sikap dari wartawan itu sangat jauh dari tanggung jawabnya sebagai seorang wartawan," ujar Aris.

Menurut Aris, kasus ini menjadi tamparan keras bagi wajah jurnalisme di Semarang. 

Untuk itu, dia menekankan agar jurnalis memiliki prinsip keberpihakan kepada publik, kebenaran, dan keadilan.

Baca juga: Fakta-fakta Polisi Tembak Tiga Pelajar SMK di Semarang, Saksi Bantah Ada Tawuran Antar Gangster

Tugas jurnalis juga sudah diikat dalam UU Pers dan Kode Etik sehingga jurnalis diminta supaya menaati rambu-rambu tersebut.

"Wartawan bukan Humas Polri," tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Pantura
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved