TRIBUN-PANTURA.COM, SLAWI - Menjadi seorang petugas pemulasaran jenazah apalagi di tengah masa pandemi Covid-19, tentu bukan profesi yang mudah dan tak jarang harus berkorban demi menjalankan tugasnya.
Berkorban yang dimaksud, yaitu seperti kehilangan banyak waktu luang bersama keluarga tercinta di rumah.
Inilah yang sedang dialami oleh Petugas Pemularasan Jenazah di RSUD dr Soeselo Slawi, Ida Wahyu Kurnia (41), yang mengaku selama pandemi Covid-19 sangat disibukan dengan profesinya.
Bahkan, anak-anak dan sang Ibu sampai melayangkan protes karena Ida sangat jarang memiliki waktu luang untuk keluarga, sekalipun di hari libur.
Baca juga: Eksotisme Atap Tertinggi Kabupaten Batang
Baca juga: Pemerintah Kota Tegal Berencana Naikkan UMK Sekira 3 Persen
Baca juga: Truk Box Terperosok ke Kebun Warga Tawangmangu, Nadia Kaget Terdengar Suara Keras dan Kilatan Cahaya
Baca juga: Bupati Tegal Minta Besaran Kenaikan Cukai Rokok Dikaji Ulang
"Saya bekerja sebagai pemulasaran jenazah di RSUD dr Soeselo Slawi sudah sekitar 5 tahun. Dan dari empat petugas yang ada, saya satu-satunya petugas perempuan. Sejak awal pandemi kesibukan semakin meningkat, bahkan pernah saya dan tim tidak pulang ke rumah karena jumlah jenazah yang harus diurus bertambah," ungkap Ida, saat ditemui di tempat kerjanya, Rabu (4/11/2020).
Menjalankan tugas sebagai pemulasaran jenazah apalagi di tengah pandemi Covid-19, tentu ada suka dan dukanya.
Ibu dari tiga anak ini mengatakan, pengalaman yang menyenangkan selama masa pandemi Covid-19 dengan profesi nya yaitu, ia bisa mempraktekan ilmu yang selama ini dikuasi.
Selain itu, ketika harus ikut mengantarkan atau memakamkan jenazah Covid-19, ia bisa sekaligus jalan-jalan dan mendatangi tempat yang belum pernah dikunjungi.
Istilahnya, dia bisa mengelilingi wilayah atau desa yang ada di Kabupaten Tegal.
Sedangkan pengalaman yang tidak menyenangkan, Ida mengaku karena ia harus selalu mengenakan baju hazmat, atau yang biasa disebut baju APD astronot sampai berjam-jam.
"Namun yang paling membuat saya sedih, karena sangat jarang bisa berkumpul dengan keluarga. Karena saya harus tetap stanby 24 jam, jadi ketika ada panggilan mau tidak mau harus berangkat. Waktu saya bersama anak sejak pandemi sangat kurang, apalagi untuk berlibur. Namun saya berusaha untuk memberikan pengertian, sehingga alhamdulillah keluarga dan anak bisa memahami dan mendukung," jelasnya.
Bahkan, Ida menyebut, anak bungsunya yang masih berusia 3 tahun sampai protes dan berucap ke Ida "Ibu Covid-19 nya nakal tidak hilang-hilang. Akhirnya ibu tidak pernah bisa liburan sama dede."
Yang bisa Ida lakukan yaitu memberikan pengertian ke anak bungsunya, dengan mengatakan "Kalau ibu (Ida) tidak berangkat kerja, nanti Covid-19 nya datang ke dede. Nanti kalau ada waktu kita berlibur."
"Saya selalu berusaha memberikan pengertian ke anak dan keluarga mengenai profesi saya ini. Tapi jujur saya juga kadang was-was, takut menularkan ke orang rumah juga. Jadi sekarang, semisal saya mau pulang, saya kasih kabar ke anak atau suami, nanti mereka sudah siap-siap masuk ke kamar masing-masing. Setelah sampai rumah, saya langsung ke kamar mandi, melepas pakaian, mandi, bersih-bersih sekitar 2 jam. Setelah itu, mereka baru keluar dan kita kumpul bersama," cerita Ida.
Selama bertugas di masa pandemi Covid-19, Ida dan rekan-rekannya pernah mengalami penolakan, atau pun tindakan kurang menyenangkan lainnya.