TRIBUN-PANTURA.COM, JAKARTA - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang pajak pulsa, kartu perdana, token listrik dan voucher membuat gaduh media sosial.
Mayoritas warganet menganggap kebijakan itu akan membuat tarif token listrik dan lainnya jadi lebih mahal.
Terkait kegaduhan itu Sri Mulyani kemudian memberikan penegasan di media sosial.
Baca juga: Hati-hati Ada Lubang Besar di Jalan Siliwangi Semarang, Sudah 7 Pemotor Terjatuh
Baca juga: Hanya 30 Persen Pengunjung Wisata di Tegal yang Taat Protokol Kesehatan
Baca juga: Jelang Arsenal Lawan Manchester United, Pertahanan Seran Merah Disorot Karena Dinilai Rapuh
Baca juga: Petani di Sangkanjaya Kabupaten Tegal Ingin Ada Kios Pengecer Lemgkap Pupuk di Desanya
Bendahara Negara itu pun menegaskan, aturan tersebut diberikan untuk memberikan kepastian hukum dan penyederhanaan atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN) dan Pajak Penghasilan ( PPh).
Pengenaan pajak berupa PPN dan PPh atas penyerahan pulsa, kartu perdana, token listrik, serta voucer sebelumnya sudah berlaku sehingga tidak ada jenis dan obyek pajak baru.
"Ketentuan tersebut TIDAK BERPENGARUH TERHADAP HARGA PULSA /KARTU PERDANA, TOKEN LISTRIK DAN VOUCER," tegas Sri Mulyani, dikutip dari akun Instagram-nya, @smindrawati, Sabtu (30/1/2021).
Menurut Menkeu, selama ini PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik, dan voucer sudah berjalan.
"Jadi tidak tidak ada pungutan pajak baru untuk pulsa token listrik dan voucer," tegasnya.
Untuk diketahui, keputusan tersebut tertuang dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021.
Pada Pasal 4 beleid tersebut dijelaskan, PPN dikenakan atas penyerahan barang kena pajak (BKP) oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi kepada penyelenggara distribusi tingkat pertama dan atau pelanggan telekomunikasi. Selain itu, oleh penyelenggara distribusi tingkat pertama kepada penyelenggara distribusi tingkat kedua dan atau pelanggan telekomunikasi.
Terakhir, oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada pelanggan telekomunikasi melalui penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya atau pelanggan telekomunikasi secara langsung, dan penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya.
Terkait dengan PPh, pada Pasal 18 dijelaskan penghitungan dan pemungutan PPh dilakukan atas penjualan pulsa dan kartu perdana oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua. Beleid tersebut menjelaskan, penyelenggara distribusi tingkat kedua merupakan pemungut PPh Pasal 22 maka akan dipungut PPh Pasal 22.
Pemungut PPh melakukan pemungutan pajak sebesar 0,5 persen dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua dan tingkat selanjutnya. Pungutan tersebut diambil dari harga jual atas penjualan kepada pelanggan telekomunikasi secara langsung.
Bila wajib pajak (WP) yang dipungut PPh Pasal 22 tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), besaran tarif yang dipungut lebih tinggi 100 persen dari tarif yang diberlakukan, yaitu 0,5 persen.
Namun, pemungutan PPh Pasal 22 tidak berlaku atas pembayaran oleh penyelenggara distribusi tingkat satu dan selanjutnya atau pelanggan telekomunikasi yang jumlahnya paling banyak Rp 2 juta tidak terkena PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp 2 juta.
Selain itu, pemungutan PPh 22 juga tidak berlaku kepada penyelenggara distribusi atau pelanggan yang merupakan wajib pajak bank, atau telah memiliki dan menyerahkan fotokopi surat keterangan PPh berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018 dan telah terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Penjelasan Direktorat Jenderal Pajak
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menjelaskan, dalam PMK tersebut, pemungutan PPN pulsa dan kartu perdana hanya sampai distributor tingkat II (server).
"Sehingga, untuk rantai distribusi selanjutnya seperti dari pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi," jelas dia.
Selain itu, distributor pulsa juga dapat menggunakan struk tanda terima pembayaran sebagai Faktur Pajak sehingga tidak perlu membuat lagi Faktur Pajak secara elektronik (eFaktur).
Untuk token listrik, PPN dikenakan hanya atas jasa penjualan/pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, dan bukan atas nilai token listriknya.
Baca juga: Foto Jalur Berliku di Bukit Sibea-bea Danau Toba Viral, Pemda Minta Jangan Dikunjungi
Baca juga: Foto Jalur Berliku di Bukit Sibea-bea Danau Toba Viral, Pemda Minta Jangan Dikunjungi
Baca juga: Pulau Cantik di Sulsel Dijual Rp 900 Juta, Calon Pembeli Sudah Bayar DP Rp 10 Juta
Baca juga: Jadwal Samsat Keliling Kota Tegal Hari Ini, Buka di Lapangan Sumurpanggang dan 2 Tempat Lainnya
Hestu mengatakan, untuk voucer, PPN hanya dikenakan atas jasa pemasaran voucer berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucer, bukan atas nilai voucer itu sendiri.
"Hal ini dikarenakan voucer diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang memang tidak terutang PPN," ujar dia.
Di sisi lain, pemungutan PPh Pasal 22 untuk pembelian pulsa/kartu perdana oleh distributor, dan PPh Pasal 23 untuk jasa pemasaran/penjualan token listrik dan voucer, merupakan pajak yang dipotong dimuka dan tidak bersifat final.
Atas pajak yang telah dipotong tersebut nantinya dapat dikreditkan oleh distributor pulsa atau agen penjualan token listrik dan voucer dalam SPT Tahunannya. (*)