Berita Semarang
Masih Ada 112 Hektar Wilayah Kumuh di Kota Semarang, Disperkim Terkendala Anggaran
Penanganan wilayah kumuh di Kota Semarang terpaksa tertunda akibat pandemi Covid-19. Sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang.
Penulis: Eka Yulianti Fajlin | Editor: Rival Almanaf
TRIBUN-PANTURA.COM, SEMARANG - Penanganan wilayah kumuh di Kota Semarang terpaksa tertunda akibat pandemi Covid-19. Sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang menargetkan Kota Semarang bebas dari wilayah kumuh pada 2020.
Namun, akibat pandemi ini pembangunan wilayah kumuh masih belum terselesaikan.
Berdasarkan SK Wali Kota Semarang Nomor 050/801/2014, setidaknya ada 62 Kelurahan dari 177 kelurahan di Kota Semarang yang masuk dalam daerah penanganan wilayah kumuh. Luas wilayah kumuh yakni sekitar 418 hektar.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Kota Semarang, Ali mengatakan, jumlah tersebut saat ini sudah berkurang.
• Messi Utarakan Soal Masa Depannya Kepada Ronald Koeman, Ragu Bertahan di Barcelona
• Polres Semarang Tangkap Pemilik Bisnis Karaoke Bandungan, Diduga Aniaya 5 Orang
• Pulang dari Pasar, Pasutri di Tegal Meninggal Tertabrak KA Kamandaka
• Akurasi Hanya 30 Persen, Pemkab Wonosobo Wajibkan Wisatawan yang Masuk untuk Rapid Test
Pemerintah Kota Semarang melakukan penanganan wilayah kumuh secara bertahap. Saat ini luasnya masih tersisa sekitar 112 hektar.
"Wilayah kumuh di Kota Semarang dari 418 hektar tinggal 112 hektar. Yang masuk wilayah kumuh dari 15 kecamatan tinggal 10 kecamatan. Tapi dalam satu kecamatan tidak seluruhnya kumuh tinggal beberapa spot saja. Seharusnya, tahun ini selesai tapi karena Covid-19 belum terselesaikan," jelas Ali, Jumat (21/8/2020).
Ali menuturkan, suatu wilayah harus dilakukan pembangunan agar tidak dianggap kumuh.
Tidak cukup hanya pembangunan infrastruktur lingkungan saja semisal jalan dan drainase, melainkan juga huniannya.
"Kalau jalannya bagus tapi rumahnya masih ada yang gedek, masih dianggap kumuh. Jadi, tidak hanya jalan dan saluran, tapi juga rumahnya," terangnya.
Dia melanjutkan, dalam rangka penanganan wilayah kumuh, Pemerintah Kota Semarang mengadakan program pembangunam rumah tidak layak huni (RTLH).
Sayangnya, program RTLH 2020 yang targetnya 1.000 unit baru terealisasi 100 unit saja.
"Awalnya anggaran Rp 18 miliar. Karena Covid-19, kami baru merealisasi 100 unit dengan anggaran hanya ratusan juta saja," imbuhnya.
Ali optimis, tahun depan penanganan wilayah kumuh melalui program RTLH dapat dilanjutkan.
Sebelumnya, kebijakan program RTLH ini hanya berlaku bagi rumah warga yang tidak layak dan telah memiliki sertifikat.
Namun, kebijakan Wali Kota Semarang, baik yang bersertifikat maupun tidak bersertifikat dapat mengajukan program RTLH pada 2021 mendatang.
Di sisi lain, dia menambahkan, penanganan wilayah kumuh juga melalui pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) di setiap wilayah serta penerangan jalan yang memadai.
Namun, kata dia, tidak semua wilayah memiliki lahan untuk pembangunan ruang terbuka hijau.
Pihaknya berharap, wilayah yang memiliki ruang terbuka hijau bisa dirawat secara baik apabila sudah dibangunkan oleh pemerintah.
• Sebanyak 120 Santri Asal Kabupaten Tegal Laksanakan Rapid Test
• Cek-cok di Hajatan Berbuntut Penusukan Hingga Tewas, Tersangka : Saya Hanya Emosi Sesaat
• Diduga Supir Mengantuk, Truk Tabrak Guardil di KM 338 Tol Pemalang-Batang
• Heboh Naturalisasi Terselubung Lewat Tiga Klub Liga 1, Begini Tanggapan Exco PSSI
"Kita diminta proposal pembangunan taman. Sudah kami bangun tapi masyarakat tidak merawat. Tabaman ada yang mati. Kami minta kepedulian masyarakat untuk merawat. Kalau tanaman mati bisa minta ke kami," ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang, Suharsono mengusulkan agar ada penambahan anggaran dalam APBD perubahan 2020, terutama bagi dinas-dinas teknis yang anggarannya berkurang cukup besar.
Dia berharap, pada APBD Perubahan nanti anggaran refocusing penanganan Covid-19 juga dapat dikembalikan setidaknya 50 persen untuk melanjutkan pembangunan fisik yang hampir semua tertunda akibat Covid-19, seperti Disperkim yang anggarannya berkurang sekitar Rp 100 miliar.
"Kami ingin paling tidak dikembalikan Rp 50 miliar untuk kebutuhan permukiman, perbaikan jalan, dan lain-lain," pintanya. (eyf)