Berita Blora
Kisah Dokter Galih, Pernah Terpapar Covid-19 Hingga Ketakutannya Menulari Orang Terdekat
Kekhawatirannya memuncak saat dia dinyatakan terpapar Covid-19. Semata-mata tidak hanya dirinya yang harus menanggung rasa sakit akibat gejala.
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Rival Almanaf
“Ternyata masih tinggi juga demam saya,” ujar dia.
Sedianya sejak demam dia telah mengomunikasikannya dengan sesama dokter di RSUD Soetijono. Sejak saat itu juga dia disarankan untuk sejenak istirahat dan menjalani sejumlah tahapan uji laboratorium. Namun setelah enam hari istirahat di rumah kondisinya tak kunjung membaik, Galih akhirnya disarankan untuk melakukan CT scan. Hasilnya, terdapat peradangan pada paru-parunya atau ground opacity yang mengarah ke Covid-19.
Pada saat yang bersamaan, ruang isolasi di rumah sakit tempat dia kerja baru saja selesai disiapkan. Keputusan berat harus menjalani perawatan pun harus diambil daripada di rumah justru lebih berisiko.
“Saya harus isolasi di dalam ruang sendirian. Terhitung saya isolasi selama 12 hari di rumah sakit,” kata alumnus kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogakarta.
Selama isolasi di rumah sakit itu pula dia menjalani tes usap. Namun saat itu tes usap hasilnya tidak bisa seketika diketahui. Butuh waktu beberapa hari. Hingga akhirnya selama 12 hari isolasi, tercatat selama delapan hari demamnya tidak reda. Sisa hari berikutnya, kondisinya baru mulai membaik.
“Setelah 12 hari itu saya boleh pulang. Di rumah saya masih harus isolasi mandiri,” ujar dia.
Pada pertengahan Juni 2020 dia baru dinyatakan sembuh total dari Covid-19. Hal itu dibuktikan dengan hasil tes usap berulang kali. Sedikitnya ada 10 kali tes usap. Dua kali hasil tes usap yang terakhir, dia benar-benar negatif.
“Saya langsung sujud syukur. Dan saya langsung sepedaan, memang suka sepedaan, keliling Kota Blora,” ujarnya.
Kembali Bertugas dengan Risiko Lebih Tinggi
Kini Galih telah kembali betugas di rumah sakit. Terhitung sejak awal Juli 2020 dia kembali ke tempat yang memiliki risiko penularan tinggi. Bagaiamanapun, trauma itu masih melekat dalam benaknya. Apalagi saat harus menangani pasien dengan gejala Covid-19. Namun, panggilan tugas jauh lebih utama.
“Bagaimana lagi, ini sudah tugas saya. Kalau menghindar, malah saya bisa tekanan psikis," kata Galih.
Sebagai seorang dokter dengan tingginya risiko tertular kembali, tentu Galih kini jauh lebih berhati-hati. Malah, dia kini bertugas sebagai dokter yang harus melakukan tes usap ketika ada pasien bergejala. Selesai bertugas melayani tes usap, dia harus langsung mandi. Ketika sampai rumah, dia kembali mandi
Tugas sebagai dokter tes usap dilakoni setelah sebelumnya tugas itu diemban oleh kawannya, dr Hery Prasetyo. Kabar duka itu datang pada pertengahan Agustus 2020. Dr Hery meninggal dan dinyatakan positif Covid-19.
"Ini sangat berisiko. Tapi saya harus menjalaninya," kata dia.
Baca juga: Potensi Bencana Sinkhole di Desa Jolosekti Jadi Pantuan Pemkab Batang
Baca juga: Update Virus Corona di Kabupaten Karanganyar, Sabtu 7 November 2020.
Baca juga: Warga Geyer, Grobogan Ditemukan Meninggal Dunia di Pasar Ayam Nglangon Sragen
Baca juga: Penyandang Disabilitas Dijemput untuk Perekaman KTP, KPU Demak: Upaya Lindungi Hak Pilih Mereka
Kenangan akan dr Hery sangat melekat baginya. Selama menjalani perawatan karena terpapar Covid-19, dr Hery adalah orang yang melayaninya ketika harus tes usap. Tapi kini telah tiada. Tugas berisiko itu kini diemban olehnya.