Pilkada Serentak 2020

DKPP Sidangkan 171 Penyelenggara Pemilu di Jateng, 7 di Antaranya Dipecat: Pemilu Harus Bermartabat

DKPP Sidangkan 171 Penyelenggara Pemilu di Jateng, 7 di Antaranya Dipecat: Pemilu Harus Bermartabat

Tribunpantura.com/Mamdukh Adi P
Komisioner DKPP, Prof Teguh Prasetyo (tengah) berbicara saat diskusi terkait pemilihan umum di Semarang, Jumat kemarin. 

TRIBUNPANTURA.COM, SEMARANG - Berdasarkan data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dalam rentang waktu 2012-2020 total terdapat 171 penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang dilaporkan dan masuk persidangan DKPP.

Dari jumlah itu, sebanyak 127 penyelenggara diputuskan mendapat rehabilitasi atau pemulihan nama baik karena tidak terbukti melanggar kode etik penyelenggaraan pemilu.

Sementara, sejumlah 37 orang mendapatkan teguran tertulis dan tujuh penyelenggara pemilu diberhentikan secara tetap atau dipecat.

Baca juga: Gugurkan Balon Independen 8 Penyelenggara Pemilu Disidang DKPP, 5 dari KPU dan 3 dari Bawaslu

Baca juga: Ibu Tiri Menganiaya Anak 7 Tahun Hingga Meninggal, Tak Mau Diperiksa Polisi dan Sebut Anaknya Demam

Baca juga: Ngopi Surup Bareng Calon Bupati Pemalang: 4 Periode Jadi Dewan, Kini Maju Nyalon Bupati

Baca juga: Kemenag Jateng Segera Salurkan Bantuan Subsidi Upah Guru PAI Non PNS

Dalam setiap tahapan pemilu, acap kali tidak berjalan lancar. Ada potensi pelanggaran etika yang dilakukan penyelenggara.

Hal ini disampaikan Komisioner DKPP, Prof Teguh Prasetyo. Ia menuturkan setiap perebutan kekuasaan melalui jalur pemilihan umum, rentan terjadi pelanggaran.

Meskipun ada aturan, namun belum ada pijakan yang kokoh supaya pemilu berintegritas dan bermartabat.

Makanya, ada calon kepala daerah yang menghalalkan segala cara untuk menang dan memperoleh kekuasaan. Kondisi ini tentunya kontestasi dapat menggoyang nilai-nilai Pancasila.

Setiap pihak yang terlibat, baik penyelenggara, pemilih, atau pun kandidat calon berpotensi melakukan terjadinya pelanggaran.

"Dalam pemilu itu harus ada pijakan filosofis. Jika tidak ada, bisa menggoyangkan NKRI, apakah itu isu agama, ras, dan sebagainya.

Jika sudah ada filsafat pemilu, digoyang pun tidak jatuh," kata Prof Teguh saat acara diskusi di Semarang, Jumat (4/12/2020).

Dalam filsafat pemilu, sejatinya memiliki nilai demokrasi, persatuan, dan ketuhanan.

Pelaksanaan pemilu tidak cukup hanya berintegritas, tetapi juga harus bermartabat. Artinya, bisa memberikan nilai dan penghargaan terhadap kejujuran.

Dengan begitu, tanah air yang didiami beragam suku, agama, dan budaya tidak berujung kaos.

Nilai-nilai filsafat pemilu harus ditanamkan khususnya pada penyelenggara pemilu. Mereka harus bertindak netral dan independen.

"Oleh karena itu, penyelenggara pemilu harus berpegang dan berpijak pada nilai- nilai filsafat kepemiluan yang dijabarkan dari nilai- nilai Pancasila," jelas guru besar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini.

Setiap tahapan memiliki celah pelanggaran etika dari penyelenggara pemilu.

Di antaranya berkaitan dengan uang atau suap serta mengubah perolehan suara peserta pemilu, baik saat pemilihan presiden, legislatif, ataupun kepala daerah.

Sebut saja kasus yang terjadi di Kendal dimana DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu atas nama Catur Riris Yudi Pamungkas sebagai anggota KPU Kendal pada Mei 2020.

Teradu terbukti menyalahgunakan tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara pemilu dengan berpihak dan membantu penggalangan suara calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 silam.

"Filsafat untuk pemilu bermartabat yang penting juga takut pada tuhan. Ini juga merupakan penjabaran Pancasila.

Pihaknya juga akan mendorong agar nilai filsafat tersebut bisa diimplementasikan dan dilibatkan dalam setiap pembentukan aturan atau regulasi terkait pemilihan umum.

UU pemilu harus dilakukan peninjauan filsafat secara komprehensif.

Dengan begitu, setiap warga negara dijamin hak konstitusionalnya, pelaku money politics bisa ditindak dengan sanksi berat, dan sebagainya.

Selain itu, kontestasi bisa dilakukan dengan tetap berpijak pada nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.

Sementara, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung (Unissula), Jawade Hafidz, menjabarkan ada tujuh ciri pemilu bermartabat.

"Yang pertama yakni radikal. Radikal di sini bukan yang negatif atau berhubungan dengan ekstrimis."

"Masih banyak yang alergi dengan kata ini. Radikal tidak melulu jelek. Radikal di sini berarti secara mendasar atau mendalam," jelasnya.

Kemudian universalitas atau bersifat menyeluruh, konseptual atau dilandasi konsep pemikiran yang benar. Lalu koheren dan konsisten atau tidak mudah berubah dengan adanya faktor eksternal.

Selanjutnya, sistematik atau sesuai tahapan pemilu yang benar. Serta bebas yang berarti semua pihak tidak mendapatkan tekanan dari orang lain.

Narasumber lain yang terlibat dalam diskusi yakni anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng, Sri Wahyu Ananingsih; dosen UKSW Salatiga, Jeferson Kameo; dan jurnalis senior Semarang, Ananto Pradono. (mam)

Baca juga: Bupati Cilacap Positif Covid-19, Siapa Saja yang Berkontak Dengannya Melapor ke Nomor Berikut

Baca juga: Sensasi Menyeruput Kopi di Hutan Pinus Rawamba Coffe and Space

Baca juga: Bobol Jok Motor Curi Handphone, Warga Baturraden Diamankan Polresta Banyumas

Baca juga: Respon PDIP Setelah Kadernya Menteri Sosial Ditetapkan Sebagai Tersangka Korupsi Bansos

Sumber: Tribun Pantura
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved