Berita Tegal

Mengenal Tradisi Barit Kitiran di Desa Carul Tegal, Diyakini Ada Sejak Tahun 1945, Begini Sejarahnya

Salah satunya ada di wilayah Desa Carul, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah yang memiliki budaya membuat kitiran.

Tribun-Pantura.com/Desta Laila Kartika
Warga Desa Carul, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah saat mengadakan Festival Barit dan Budaya Kitiran Tradisional, pada Kamis (27/7/2023). Terlihat warga antusias menyaksikan festival yang sudah turun temurun dilakukan sejak dulu bahkan kali ini sudah generasi keempat. 

TRIBUN-PANTURA.COM, SLAWI - Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi atau kebudayaan unik.

Salah satunya ada di wilayah Desa Carul, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah yang memiliki budaya membuat kitiran atau dalam bahasa Indonesia disebut baling-baling dari bambu

Mayoritas warga Desa Carul berprofesi sebagai petani, tetapi uniknya memiliki hobi atau kesukaan membuat kitiran. 

Namun tidak hanya sekedar hobi saja, ternyata di belakangnya terdapat histori atau cerita sejarah yang cukup panjang. 

Belum lama ini, tepatnya pada Kamis (27/7/2023), warga Desa Carul, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal mengadakan Festival Barit dan Budaya Kitiran Tradisional. 

Baca juga: Kebakaran Rumah di Semarang, Kakek 61 Tahun Ikut Tewas Terbakar di Kamarnya, Tetangga Ungkap Hal Ini

Pada Festival kali ini, terdapat ratusan kitiran berbagai ukuran dari satu meter sampai lima meter. 

Ada juga pentas seni, dan menjelang sore hari dilaksanakan tradisi barit atau masyarakat membawa kitiran dan dipasang di sebuah pohon. 

Di pohon tersebut warga melakukan doa bersama. Setelah itu keliling desa dengan bersholawat dan melakukan azan sebanyak empat kali di beberapa titik. 

Kepala Desa Carul Moh Bukhori, mengungkapkan sejak dulu sampai sekarang masyarakat masih membuat kitiran, bahkan saat ini sudah masuk generasi keempat. 

Bahkan Bukhori sendiri juga membuat kitiran karena dulu melihat orangtuanya sering membuat kitiran. 

"Saat mengadakan barit, masyarakat mengarak kitiran yang nantinya di pasang di samping pohon besar lokasinya di pinggir Desa Carul."

Baca juga: Tutupi Saluran Air, 37 Bangunan Tak Berizin di Curug Pangkah Tegal Dibongkar

"Kegiatan ini tujuannya mengenalkan budaya kitiran lebih luas dan masif lagi. Agar Desa Carul kedepannya lebih maju dan berkembang ekonominya."

"Kami juga berharap kegiatan tradisi Festival Barit dan Budaya Kitiran Tradisional bisa diadakan setiap tahun," ungkap Bukhori. 

Sejarah singkat mengenai Kitiran khas Desa Carul, diceritakan Bukhori, pada zaman penjajahan tepatnya tahun 1944-1945 silam.

Terdapat tokoh masyarakat atau lurah Desa Carul bernama Munasir yang lebih dikenal dengan sebutan Kaki Ormat, membuka lahan pertanian di wilayah Cendana dan Paguyangan. 

Pada saat itu, warga Desa Carul sedang mengalami masa-masa yang sangat sulit, dimana masyarakatnya banyak yang mengalami kelaparan terutama anak-anak. 

Baca juga: Pajak Bertutur, Cara KPP Pratama Batang Edukasi Pelajar Patuh Bayar Pajak Sejak Dini

Dalam kondisi tersebut, Kaki Ormat memerintahkan kepada masyarakat untuk membuat sebuah kitiran. 

Tujuannya untuk menghibur anak-anak agar tidak menangis karena merasa kelaparan. 

Kemudian warga Desa Carul membuat tiga jenis kitiran yang masing-masing memiliki makna atau arti berbeda. 

"Tiga jenis kitiran yang dimaksud yakni ada Kitiran Biasa, Kitiran Angkrog, dan Kitiran Sundari. Ketiganya memiliki makna atau arti masing-masing," kata Bukhori. 

Makna kitiran pertama yakni Kitiran Biasa.

Kitiran Biasa, pertama kali dibuat lurah Munasir pada tahun 1944-1945 dari ukuran sedang sampai besar. 

Bahan baku pembuatan kitiran tersebut dari kayu kalak atau kayu khusus yang terdapat di Gunung Janggiri. 

Baca juga: Alasan Kenapa Pemkot Pekalongan Usulkan Pembentukan Kabid Perbatikan dan Batik Material Center

Tujuan membuat kitiran ini, untuk menghibur anak-anak yang kelaparan agar tidak menangis.

Kemudian kitiran kedua yakni Kitiran Angkrog. 

Kitiran Angkrog, menurut Bukhori dibuat oleh mbah Marsyad. 

Kitiran ini dibuat di sebuah sawah watu kasur. Kitiran Angkrog ini bentuknya berbeda dengan kitiran biasa.

Kitiran ini memiliki ekor (Togoran) namun ada bentuk orang-orangan di bagian belakangnya. 

Apabila kitiran berputar, orang-orangan tersebut akan maju mundur. 

Tujuan membuat kitiran Angkrog ini sebagai alat pelindung dari gangguan makhluk jahat. 

Ketiga, ada Kitiran Sundari yang dibuat oleh mbah Kalil. 

Baca juga: Pemkab Pekalongan Akan Perluas Lahan Tembakau, Ini Wilayah Sasarannya

Kitiran Sundari bentuknya sama seperti kitiran biasa, namun terdapat perbedaan. 

Kitiran sundari diberi warna hitam dan putih, kemudian terdapat seruling yang  menghasilkan suara merdu saat tertiup angin. 

Kitiran sundari dibuat untuk mengelabui para roh halus agar tidak mengganggu warga Desa Carul. 

"Sampai saat ini warga masih sering membuat kitiran. Masyarakat juga menikmati suara yang dihasilkan dari kitiran di saat siang, sore dan malam hari atau di saat angin sedang kencang," jelasnya. 

Sementara itu, Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Tegal Ahmad Uwes Qoroni mengatakan, meskipun Desa Carul berada diujung, tapi tidak menjadi kendala untuk mengadakan Festival barit dan kitiran tradisional. 

Uwes menilai hal itu sebagai narasi yang luar biasa karena mengangkat kearifan lokal, khususnya tentang tradisi kitiran.  

Sehingga Uwes berharap, dengan adanya Festival Kitiran semoga kedepannya bisa menggerakkan perekonomian warga Desa Carul. 

Baca juga: Solekhun Dilantik Jadi Kades Plumbungan Tegal, Diingatkan Soal Penggelapan Setoran PBB dan Pungli

Lebih dari itu, budaya kitiran semakin dikenal oleh khalayak umum tidak hanya warga lokalnya saja. 

Sehingga bisa menjadi destinasi wisata baru di Kabupaten Tegal. 

"Kearifan lokal bisa diangkat menjadi wisata unggulan. Saya melihat ada potensi untuk jadi destinasi wisata baru khususnya di Kabupaten Tegal," papar Uwes. 
 
Salah satu warga Desa Carul, Mukhari, mengaku memiliki hobi atau suka membuat kitiran sejak dirinya masih kecil dan bertahan hingga saat ini usianya 62 tahun. 

Dia pun lihai membuat kitiran dari yang ukuran kecil sampai besar. 

Mukhari mendapat keahlian membuat kitiran juga dari orangtuanya, karena dulu suka membuat dan kemudian memainkan kitiran sebagai hiburan. 

Baca juga: Perkuat Pengawasan Orang Asing di Grobogan, Imigrasi Semarang Gelar Rakor Timpora

"Kalau saya membuat kitiran hanya untuk kesenangan sendiri dan menyalurkan hobi saja. Sehingga kitiran yang saya buat tidak dijual."

"Karena bagi saya seperti ada kepuasan tersendiri, apalagi kalau kitiran terkena angin dan menimbulkan bunyi. Seperti ada ketenangan ketika mendengar bunyi dari kitiran," imbuh Mukhari. (*)

Sumber: Tribun Pantura
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved