Polemik Pilkades Pati

Abas Menggugat Hasil Pilkades Talun Pati, Duga Ada Penggelembungan Suara dan DPT Siluman

Cakades Talun Ajukan Gugatan Hasil Pilkades di Pati, Duga Ada Penggelembungan Suara DPT Siluman

Istimewa
Poster Pilkades Talun 2021. Satu di antara Cakades Talun, M Ibnu Abas, menguggat hasil Pilkades Talun 2021, ia menduga ada praktik penggelembungan suara dan DPT siluman dalam proses pemilihan kepala desa tersebut, sehingga menguntungkan pihak terntentu. 

TRIBUNPANTURA.COM, PATI - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Kabupaten Pati pada 10 April 2021 lalu menyisakan polemik.

Calon Kepala Desa (Cakades) Talun yang ikut berkompetisi dalam Pilkades lalu, M Ibnu Abas, menggugat karena menilai ada ketidakberesan dalam pelaksanaan Pilkades di desanya.

Ia menduga ada praktik penggelembungan suara dan daftar pemilih tetap (DPT) siluman yang menguntungkan calon tertentu.

Baca juga: BREAKING NEWS: Seluruh Awak KRI Nanggala 402 Dinyatakan Gugur, Simak Pernyataan Panglima TNI

Baca juga: Ini Kata Presiden Jokowi soal Pencarian KRI Nanggala 402

Baca juga: Ekskavasi Tahap Pertama Candi Boto Tumpang Kendal Selesai, Tim: dari Masa Kerajaan Kalingga

Baca juga: Komisi E DPRD Jateng Desak Pemprov Evaluasi Pelaksanaan PTM, Ada Apa?

Terkait hal ini, tiga hari pascapencoblosan, pihaknya telah mengajukan nota keberatan pada Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam), Panitia Pilkades Talun, dan BPD Talun.

Nota keberatan itu juga ditembuskan pada Bupati Pati Haryanto.

“Pertama soal DPT (Daftar Pemilih Tetap). Memang dulu DPT sudah disepakati."

"Tapi saat kesepakatan dan penandatanganan dulu lebih kepada jumlahnya, tidak sampai pada detailnya,” ujar Ibnu Abas ketika dihubungi Tribunpantura.com via telepon, Sabtu (24/4/2021).

Ia menilai, ada penggelembungan data yang dilakukan panitia dengan cara memasukkan warga yang sebetulnya tidak memiliki hak pilih ke dalam DPT.

“Jadi ada orang punya KTP ganda, punya NIK ganda. Orang ini hidup di Jakarta, juga sudah ber-KTP dan KK Jakarta. Tapi tiba-tiba ada di DPT."

"Proses pantarlih untuk mendata hanya via telepon. Tanpa memperlihatkan KTP dan KK. Kalaupun masih ada, itu KK atau KTP lama yang mestinya tidak boleh digunakan lagi,” tutur Abas.

Dia mengatakan, hal ini jelas tidak sesuai UU Kependudukan, di mana setiap orang harus memiliki identitas tunggal (single identity).

Abas mengatakan, dia menemukan setidaknya 7 orang dalam DPT yang memiliki kasus “KTP ganda” ini.

“Dari kesemrawutan itulah kami melihat ada proses penggelembungan data. Ketika orang Jakarta ini pulang kampung, karena banyaknya DPT tidak jelas, surat undangannya kemudian tidak dikasihkan tapi digunakan orang lain,” tutur dia.

Menurut Abas, surat undangan mencoblos itu bisa digunakan orang lain karena dalam proses pemungutan suara, pendaftar hanya diminta menunjukkan surat undangan. Panitia tidak mencocokkannya dengan KTP atau kartu identitas lain.

“Absensinya pun, panitia hanya nyontreng atau melingkari nama warga dalam DPT yang sudah menyerahkan surat undangan. Jadi tidak ada proses verifikasi data. Tidak ada kesesuaian antara pemegang undangan dengan orang yang membawa undangan,” papar dia.

Tiga hari setelah pencoblosan, lanjut dia, pihaknya sudah mengajukan nota keberatan ke Panwascam. 

“Memang (kami) sedang dalam proses penyusunan gugatan. Namun sampai sekarang berkas berita acara penetapan hasil kami belum dapat salinannya,” tutur dia.

Halaman
12
Sumber: Tribun Pantura
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved