Opini
Opini Idham Cholid: Muktamar NU yang Diharapkan, Mengapa Terasa Kurang Greget?
Opini Idham Cholid: Muktamar NU yang Diharapkan, Mengapa Terasa Kurang Greget? muktamar ke 34 nu
Oleh Idham Cholid | Kader NU & Alumni PMII, tinggal di Wonosobo
Tak berlebihan jika seluruh warga Nahdliyin berharap, Muktamar ke-34 NU yang telah ditetapkan pada 23-25 Desember 2021 mendatang, dapat dilaksanakan tepat waktu. Mengingat, karena alasan pandemi Covid-19, pelaksanaan forum permusyawaratan tertinggi itu telah diundur satu tahun.
Rasanya, tak berlebihan pula jika kita semua menambatkan harapan bahwa Muktamar yang akan digelar di Lampung itu membawa dampak perubahan, sekaligus kemaslahatan. Tidak saja bagi elit (pengurus) jam'iyah, tetapi juga bagi seluruh warga jamaah. Bahkan untuk Indonesia dan dunia.
Jika warga nahdliyin hanya bisa berharap, lain halnya dengan para pengurus NU. Baik Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, maupun Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten dan Kota), tanpa kecuali Pengurus Cabang Istimewa (dari luar negeri), tentu mempunyai tanggungjawab agar forum permusyawaratan tertinggi itu terlaksana dengan baik. Mereka adalah muktamirin, para peserta muktamar, yang terlibat secara langsung dalam proses perhelatan itu.
Memasuki Abad Kedua
Namun disayangkan, muktamar yang tinggal dua bulan lagi ini terasa kurang gregetnya. Tentu bukan karena situasi pandemi Covid-19 yang layak dijadikan alasan. Persoalan ini sebenarnya sangat mudah teratasi. Toh kita juga sudah membiasakan diri melakukan kegiatan secara virtual (daring), hampir dua tahun terakhir ini.
Tidak adanya perbincangan yang serius menyangkut agenda dan peran keumatan NU ke depan, justru menjadi tanda tanya besar. Padahal muktamar kali ini sangat strategis. Inilah muktamar NU di pengujung satu abad masa khidmahnya. NU akan memasuki abad kedua.
Dalam perhitungan hijriyah, pada 16 Rajab yang akan datang, NU memasuki usia ke 99. Pada 31 Januari 2022, NU berusia 96 tahun. Artinya, hasil muktamar kali inilah yang akan mengantarkan NU memasuki abad kedua. Di sini pula strategisnya.
Tentu, gelaran muktamar itu sangat ditunggu. Bukan hanya oleh warga nahdliyin. Bangsa Indonesia, dan bahkan dunia, pun menantikannya. Maklum, NU adalah ormas terbesar. Dengan jumlah pengikut sekitar 116 juta, berdasarkan survey LSI Denny JA pada Pebruari 2019, organisasi para kiai ini menjadi kekuatan raksasa dunia.
Sejarah telah mencatat demikian besar peran NU dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu aspek terpenting, bagaimana NU secara elegan menuntaskan hubungan antara paham keagamaan dan paham kebangsaan sebagai landasan kenegaraan, justru dengan jawaban agama, haruslah diakui bukan pekerjaan ringan.
Bagaimanapun, jargon "Pancasila final dan NKRI harga mati" juga bukan sekadar slogan atas dasar kepentingan pragmatis belaka. Inilah perwujudan dari komitmen kebangsaan tertinggi. Hubbul wathan minal iman, demikian Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy'ari merumuskan, menjadi bagian mendasar. Dengan prinsip keimanan inilah komitmen kebangsaan disandarkan.
Sekali lagi, itu bukan pekerjaan ringan. Kalau boleh ditegaskan, itulah prestasi terbesar NU dalam satu abad pertama masa khidmahnya. Yakni, tuntasnya hubungan antara agama dan negara. Peran kesejarahan ini harus terus dikawal dan diteladankan. Kepeloporan yang semestinya ditebarkan untuk menjadi inspirasi dunia di saat banyak negara sampai kini masih selalu saja ribut dengan konflik "ideologis" atas nama agama.
NU Mendunia
Kita tidak memungkiri, NU juga telah menorehkan capaian yang membanggakan. Setidaknya, pada satu abad pertama ini, NU telah mendunia. Secara struktural, sampai akhir 2020 saja, jejaring kepengurusannya sudah ada di 137 negara. Tidak hanya di Timur Tengah atau negara muslim di Benua Afrika, bahkan juga di Amerika dan negara-negara besar di Eropa.
Rintisan yang dimulai sejak awal 2000-an itu, tentu semakin membuktikan bahwa "gerakan" para kiai memang diterima dengan sangat baik. Bukan karena modal "kekuasaan" NU bisa diterima di banyak negara, tetapi karena nilai-nilai ajaran yang ditawarkan.