Opini

Opini Idham Cholid: Muktamar NU yang Diharapkan, Mengapa Terasa Kurang Greget?

Opini Idham Cholid: Muktamar NU yang Diharapkan, Mengapa Terasa Kurang Greget? muktamar ke 34 nu

Dok Pribadi
Idham Cholid, Kader NU & Alumni PMII, tinggal di Wonosobo. 

Adalah Gus Dur yang sejatinya telah cukup lama mengkampanyekan itu ke berbagai belahan dunia. Ke depan, melalui jaringan struktural itulah nilai-nilai ajaran NU dipromosikan, tentu harus lebih massif dan sistematis, dengan kreasi dan inovasi sesuai perkembangan zaman.

Apa yang harus dipromosikan? Tak lain adalah Islam Nusantara. Istilah yang secara resmi "diformalkan" melalui Muktamar Jombang pada 2015 itu, tak jarang masih saja disalahpahami sebagai ajaran baru. Padahal ia hanya kontekstualisasi pemahaman dan penerapan ajaran, sebagaimana Gus Dur memperkenalkan Pribumisasi Islam pada 1980an.

Pendekatan kultural menjadi cara yang ampuh diterapkan. Inilah sebenarnya cara dakwah yang dulu dikembangkan Walisongo "mengislamkan" nusantara. Dari sanalah mata rantai Islam Nusantara menyambungkan sanad dan strategi dakwahnya.

Tentu, cara itu beda dengan mereka yang menganggap Walisongo sebagai cerita fiktif belaka. Bagi kalangan ini, Islam adalah Arab --dengan segala pemahaman dan corak budayanya-- sehingga tak jarang yang terjadi adalah pemaksaan atas nama ajaran. Bahkan memutlakkan suatu pemahaman ajaran sebagai kebenaran tunggal.

Sebaliknya, Islam Nusantara justru didasari motif yang sangat manusiawi dan adaptif. Bukan konfrontatif. Dalam berbagai kesempatan, Rais Aam Syuriah PBNU KH Miftahul Akhyar sering menyampaikan bahwa Islam itu merangkul bukan memukul, membina bukan menghina, memakai hati bukan mencaci-maki. Islam yang memberi pemahaman, bukan memaksakan.

Dengan prinsip dasar itulah Islam Nusantara dikembangkan, bahkan telah menjadi mainstream dan membentuk karakter khas, di tengah agresivitas kalangan Islam "lain" yang sebenarnya minoritas tapi seolah menguasai segalanya. Tak heran jika kemudian Mitsuo Nakamura (2015), antropolog Jepang yang sudah 40 tahun lebih mengamati NU, mengakui bahwa Islam Nusantara merupakan succes story dari Indonesia yang perlu disebarkan secara internasional.

Konsolidasi Total

Maka menjadi PR besar bagi NU saat ini, bagaimana merumuskan agenda yang lebih berarti. Muktamar yang diharapkan, tentu tak sekadar menghasilkan perubahan kepengurusan. Justru melalui Muktamar Lampung nanti, kejelasan peta jalan, arah dan strategi NU ke depan harus dihasilkan. Karena di tempat ini pula, melalui Munas Alim Ulama pada Januari 1992 yang lalu, NU pernah menghasilkan keputusan yang sangat fundamental berkaitan dengan pengambilan keputusan hukum dalam masalah-masalah keagamaan.

Saat itu disepakati apa yang disebut istinbath jama'i, memperhalus istilah "ijtihad" yang lazim digunakan kalangan modernis. Inisiasi ini dipelopori KH Ma'ruf Amin, Katib Aam Syuriyah PBNU saat itu, menjadi awal munsulnya kesadaran formal akan pentingnya mengembangkan pemikiran metodologis, khususnya dalam rangka melakukan "ijtihad" secara kolektif di dalam pengambilan keputusan-keputusan hukum.

Jika 29 tahun yang lalu NU telah berani melakukan terobosan sedemikian rupa, saat ini mestinya lebih progresif lagi. Karena yang jelas, tantangan tidak semakin ringan, dinamika masyarakat juga berubah begitu cepat dan pesat. Maka berbagai terobosan harus terus dilakukan untuk menghadapi hiruk-pikuk perubahan di abad kedua nanti.

Menurut saya, sudah saatnya NU melakukan konsolidasi total. Tak lain, untuk memperkuat jam'iyah dan jamaah sekaligus. Ada dua aspek penting di sini, yaitu konsolisasi konseptual dan konsolidasi struktural.

Yang pertama, lebih kepada penyiapan perangkat "lunak" sebagai panduan dan pedoman, bagaimana mewujudkan cita-cita kehidupan berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam konteks global, sesuai Khittah Ulama.

Bagaimana meng-internasional-kan konsep Islam Nusantara, misalnya, adalah bagian dari konsolidasi konseptual dimaksud. Dalam hal ini kita patut berbangga, dari kalangan muda NU telah mulai melakukan itu. Mereka mendeklarasikan Gerakan Islam Kemanusiaan (The Humanitarian Islam Movement) dalam pertemuan 300 Ulama Internasional pada 21-22 Mei 2017 di Jombang.

Jika Islam Nusantara pada Muktamar 2015 dideklarasikan di Jombang, dari sini pula gerakan global Humanitarian Islam dikumandangkan. Katib Aam Syuriyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf menjadi tokoh utama dibalik gerakan tersebut. Kiai muda asal Rembang itu sangat aktif mempromosikan Humanitarian Islam di pentas internasional.

Humanitarian Islam, tak lain, merupakan gerakan global yang didedikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, perdamaian dunia dan harmoni peradaban. Bukankah ini manifestasi dari prinsip Islam rahmatan lil 'alamin itu sendiri?

Halaman
123
Sumber: Tribun Pantura
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved