Berita Semarang

Kreatif, Kelompok Emak-emak Semarang Ini Sulap Sampah Jadi Emas, Begini Caranya

Ketelatenan emak-emak di Semarang dalam mengolah sampah berbuah manis. Mereka tekun bergelut dengan sampah yang mereka sulap jadi emas.

Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: m zaenal arifin
TribunPantura.com/Idayatul Rohmah
Bank Sampah Mawar. Anggota bank sampah Mawar menunjukkan hasil produk pengolahan sampah di stand pameran bazar produk UMKM Gunungpati di pasar Gunungpati, Kota Semarang. 

“Hasil dari penjualan juga dibagi. Tetapi biasanya tukang pilahnya yang mendapat bagian paling besar. Karena kan tidak mudah memilah sampah itu,” katanya.

Bank sampah yang dipimpinnya juga ada penangkaran magot.

Bibitnya dari DLH Kota Semarang pada tahun 2021 lalu, kini ia kembangkan untuk pangan lele, meski belum mendapatkan keuntungan dari magot secara ekonomi.

“Ya pendapatan dari jual sampah kadang Rp 800 ribu, kadang juga Rp 1,2 juta. Jualnya juga hanya tiap sabtu dan minggu saja,” jelasnya.

Guru Besar Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, Syafrudin menjelaskan, bank sampah harus dikelola dengan baik dan profesional.

Biasanya kelemahan bank sampah terletak pada akuntabilitasnya yang kurang dipahami.

Berikutnya, jangan coba-coba mengelola bank sampah antara demand dan suplai tidak memenuhi karena hal itu pasti tidak akan berhasil.

"Apabila jumlah sampah belum memenuhi kebutuhan, maka bisa kerjasama dengan desa atau kelurahan lain. Jadi tidak perlu desa lain membuat bank sampah sendiri," paparnya.

Baginya, bank sampah lebih baik kecil tapi profesional. Dengan demikian bank sampah dapat berhasil. 

"Utamanya Bank sampah dalam rangka untuk mengurangi biaya pengelolaan sampah di tingkat masyarakat," terangnya.

Ia mengatakan, semisal sampah sudah bisa dikelola, nanti biaya dari lokasi Tempat Pembuangan Sementara (TPS)  ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) , masyarakat tidak perlu ditagih karena seakan-akan dibayar oleh bank sampah.

"Dengan demikian akan mengurangi pembiayaan dari pemerintah daerah yang selama ini mensubsidi," terangnya kepada Tribun.

Inovasi Bank Sampah

Direktur Pelaksana Yayasan Bina Karya Lestari (Bintari) Foundation, Amalia Wulansari mengatakan, program bank sampah sudah dilakukan Bintari sejak tahun 2018.

Sebelum pandemi, total ada 54 bank sampah binaan yang kini jumlahnya terus bertumbuh.

"Sekarang terus bertambah, total ada 65," paparnya.

Selama melakukan pembinaan pihaknya memberikan pelatihan kepada pengurus bank sampah mulai dari pelatihan dasar, kiat mengelola bank sampah, hingga berinovasi untuk mengembangkan menjadi unit bisnis. 

Maka, bank sampah tidak sekadar sektor sampah tetapi juga berkembang ke sektor bisnis lain. 

Misalnya menjadi agen pembayaran pajak, token listrik, bekerja sama dengan Pegadaian untuk program sampah menjadi emas.

"Ya itu sudah jalan, misal  di Polaman dengan buka  koperasi. Tukar sampah jadi emas ada di Tinjomoyo, intinya kami menghubungkan dengan pihak-pihak yang bisa bekerjasama dengan bank sampah seperti pegadaian tadi," bebernya.

Menurutnya, gerakan tersebut paling tidak menjadi solusi terhadap persoalan sampah di masyarakat kota Semarang apalagi kondisi TPA Jatibarang yang kian over load.

"Nah, dengan bank sampah harapannya sampah bisa dikelola tingkat RT, RW, ataupun kelurahan," ujarnya.

Sementara, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang Bambang Suranggono, mengaku, khawatir dengan kondisi TPA Jatibarang yang kini sudah dibuka zona empat atau zona terakhir.

Zona tersebut sudah dibuka tapi dikhawatirkan tidak sampai menampung sampai pada tahun 2025. 

Luasan TPA tersebut kurang lebih  46 hektare, dengan sisa ruang kosong yang tersisa kian berkurang. Apalagi setiap hari TPA Jatibarang dikirim 800 ton sampai 900 ton sampah perhari. 

"Makanya kami berharap ada aksi dan gerakan, terutama pemrosesan sampah di hulu (bank sampah)," tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Pantura
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved